Ironi Dana Pensiun DPR di Tengah Beban Pajak Rakyat Mencekik

Ironi Dana Pensiun DPR di Tengah Beban Pajak Rakyat Mencekik
gedung DPR RI. (ist)

*)Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M Fil. I
Ketua Umum Forum Dosen Indonesia (FoRDESI)

Di tengah jeritan rakyat akibat beban pajak yang semakin mencekik, kabar mengenai besarnya dana pensiun anggota DPR kembali menyeruak ke ruang publik. Bukan sekali isu ini dibicarakan, namun selalu menimbulkan luka sosial yang sama: betapa timpangnya keistimewaan para wakil rakyat dibandingkan dengan kondisi nyata mereka yang diwakili. Ironi ini semakin menegaskan jurang antara elite politik dan rakyat jelata yang makin lebar.

Bacaan Lainnya

Pajak Rakyat, Pensiun Wakil Rakyat

Hari ini rakyat menghadapi kenyataan getir: harga kebutuhan pokok melonjak, tarif listrik dan BBM naik, dan pajak semakin menggerus pendapatan. Penerapan pajak karbon, kenaikan PPN, hingga wacana pajak digital memperberat beban masyarakat kelas menengah ke bawah. Padahal, rakyatlah penopang utama APBN. Di tengah kondisi ini, publik tentu berharap setiap rupiah pajak digunakan adil dan berpihak pada kepentingan mereka.

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Para anggota DPR tetap menikmati fasilitas pensiun yang dianggap berlebihan jika dibandingkan dengan jerih payah buruh, PNS, maupun pekerja swasta. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 75 Tahun 2000, pensiun anggota DPR paling tinggi adalah Rp 3,64 juta per bulan untuk yang menjabat dua periode. Bagi mereka yang hanya satu periode, pensiun sekitar Rp 2,93 juta per bulan. Bahkan anggota DPR yang merangkap ketua bisa menerima Rp 3,02 juta per bulan, sementara yang menjadi wakil ketua Rp 2,77 juta, dan anggota biasa Rp 2,52 juta. Jumlah ini diberikan seumur hidup, meski masa jabatan mereka hanya lima tahun.

Ketimpangan dengan PNS dan Buruh

Bandingkan dengan seorang PNS golongan III/a yang baru mulai bekerja: gaji pokoknya hanya Rp 2,78 juta per bulan, dan baru setelah mengabdi puluhan tahun bisa naik menjadi sekitar Rp 4,57 juta. Buruh lebih getir lagi: UMP terendah di Indonesia masih sekitar Rp 2 juta per bulan, sementara rata-rata upah pekerja formal menurut BPS berada di kisaran Rp 2,25 juta–Rp 5 juta. Padahal, mereka bekerja penuh seumur hidup.

Perbandingan sederhana ini memperlihatkan ketidakadilan telanjang. Seorang anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun bisa pulang dengan pensiun Rp 2,5–3,6 juta per bulan seumur hidup. Sementara seorang buruh atau guru yang puluhan tahun bekerja belum tentu mendapat jaminan pensiun layak.

Keistimewaan yang Menyakiti Rasa Keadilan

Masalah pensiun DPR tidak hanya soal angka, melainkan soal rasa keadilan sosial. Gaji aktif DPR bisa mencapai puluhan juta per bulan dengan beragam tunjangan, mulai dari perumahan hingga transportasi. Ditambah lagi fasilitas pensiun seumur hidup, keistimewaan ini jelas menumpuk privilege yang sulit diterima publik.

Pertanyaan pun menyeruak: apakah benar wakil rakyat masih memahami jeritan rakyat? Atau justru mereka telah terjebak dalam logika feodal—mengutamakan kenyamanan kelompoknya sendiri ketimbang amanah rakyat?

Saatnya Reformasi Moral dan Politik

Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga politik, isu pensiun DPR menjadi titik rawan yang memperdalam jurang rakyat dan wakilnya. Reformasi skema pensiun DPR mutlak dilakukan dengan prinsip keadilan. Jabatan politik seharusnya dimaknai sebagai amanah pengabdian, bukan privilege finansial.

Jika rakyat rela diperas lewat pajak, wakil rakyat pun seharusnya rela menanggung konsekuensi pengabdian tanpa fasilitas berlebih. Pajak dan dana pensiun bukan sekadar angka dalam neraca negara, melainkan cermin keadilan sosial. Jika DPR ingin dihormati, mereka harus lebih dulu memberi teladan kesederhanaan.

Tanpa itu, yang tertinggal hanya ironi: rakyat kian menderita di bawah beban pajak, sementara wakilnya hidup nyaman dengan dana pensiun dari keringat mereka. (*)

Pos terkait