Jakarta, SERU.co.id – Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengalihkan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara telah menjadi sumber gejolak dan perdebatan. Langkah tersebut tak hanya melibatkan masalah administratif, tetapi juga sensitivitas historis, kultural dan potensi sumber daya energi. Partai Aceh mengingatkan jangan sampai masalah ini menjadi benih perpecahan dan melukai proses damai Aceh.
Ketetapan tersebut diatur Dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang diterbitkan 25 April lalu. Keempat pulau itu memang tengah disengketakan sejak 2008. Prosesnya melibatkan tim rupa bumi yang terdiri dari 10 kementerian dan lembaga, di bawah koordinasi Kemendagri.
Namun Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dengan tegas menyatakan, keempat pulau tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh.
“Ya empat pulau itu sebenarnya kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan dan bukti kuat sejak dahulu kala bahwa pulau-pulau itu memang punya Aceh,” seru Mualem, dikutip dari Kompas, Jumat (13/6/2025).
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution menyatakan, potensi Migas di kawasan itu dapat dikelola bersama. Menurutnya, kalau ada potensi, lebih baik diberdayakan bersama. Bukan malah menjadi masalah perpecahan.
“Sumut dan Aceh sama-sama punya BUMD yang bisa digabung. Saya harap masyarakat kedua provinsi tidak terprovokasi oleh isu ini. Jangan sampai warga Sumut anti melihat plat BL (Aceh), dan orang Aceh anti lihat plat BK (Medan),” ujar mantan Wali Kota Medan itu.
Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat, Basarin Yunus Tanjung menjelaskan, verifikasi terhadap batas wilayah 4 pulau tersebut sudah sejak lama dilakukan. Proses verifikasi dilakukan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak 2008.
“Pembahasan tapal batas Aceh-Sumut termasuk empat pulau ini sudah berlangsung puluhan tahun dan proses panjang. Akhirnya pada 2022 Kemendagri menetapkan empat pulau ini masuk ke wilayah Sumut. Jadi bukan pada masa Gubernur Bobby Nasution menjabat,” jelas Basarin.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda menyebut, akan meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melakukan penelusuran lebih rinci mengenai proses yang terjadi pada 2008-2009. Komisi II juga meminta Menteri Dalam Negeri segera mengumpulkan Gubernur Aceh, Gubernur Sumatera Utara, Bupati Aceh Singkil dan Bupati Tapanuli Tengah, untuk mencari solusi yang adil.
“Kalau memang terjadi kesalahan, nantinya Komisi II akan melakukan revisi UU Pemerintahan Aceh dan UU tentang Sumatera Utara. Ini demi kepastian dan menjaga keamanan, stabilitas dan hubungan harmonis di daerah tersebut,” ujar Rifqinizamy.
Selain masalah tapal batas, empat pulau tersebut juga dekat dengan Blok Migas OSWA (Offshore West Aceh). Masyarakat dan pemerintah daerah khawatir pergeseran kepemilikan dapat turut memengaruhi proses pengelolaan sumber daya energi.
Senada, anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub, melontarkan peringatan keras agar pemerintah pusat tak gegabah.
“Jangan buat masalah baru di Aceh, persoalan yang tengah terjadi saja cukup berat. Keputusan sepihak soal empat pulau malah akan melukai hati masyarakat Aceh dan menambah masalah. Pak Tito harus lebih hati-hati dan manusiawi,” katanya.
Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman turut menyampaikan, keresahan mengenai potensi perpecahan yang lebih luas.
“Jangan sampai masalah perbatasan malah menjadi benih perpecahan dan melukai proses damai Aceh. Pemerintah harus menjaga keutuhan dan perjanjian damai yang tengah berjalan,” katanya.
Usai mendapatkan banyak penolakan, Kementerian Dalam Negeri akan mengkaji ulang penetapan masuknya empat pulau tersebut ke wilayah Sumatera Utara.
“Kajian ulang ini dilakukan karena keputusan Kemendagri tersebut mengundang gejolak di tengah masyarakat. Persoalan yang berlangsung puluhan tahun tersebut harus dikaji kembali dengan data serta informasi akurat dan lengkap dari semua pihak. Penting untuk tidak saja melihat peta geografis tetapi juga sisi historis dan realita kultural,” pungkas Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya. (aan/mzm)