Akademisi Hukum Unisma: Visum Psikis Korban Pelecehan Perkuat Pembuktian di Pengadilan

Dekan FH Unisma, Dr Arfan Kaimudin SH MH. (ist) - Akademisi Hukum Unisma: Visum Psikis Korban Pelecehan Perkuat Pembuktian di Pengadilan
Dekan FH Unisma, Dr Arfan Kaimudin SH MH. (ist)

Malang, SERU.co.id – Akademisi Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) menyoroti adanya kasus pelecehan seksual oleh oknum dokter. Ia mengungkapkan, hasil visum psikis korban dapat memperkuat pembuktian di pengadilan.

Akademisi hukum Unisma, Dr Arfan Kaimudin SH MH menjelaskan, kasus pelecehan seksual berbeda dengan tindak pidana lainnya. Pasalnya, korban seringkali kekurangan bukti dan dalam kasus pelecehan seksual akibat minimnya visum secara fisik.

Bacaan Lainnya

“Yang bisa memperkuat pembuktian di pengadilan nanti, di antaranya visum yang membuktikan benar terjadi pelecehan seksual. Bisa juga menggunakan visum psikis, orang itu terguncang atau tidak,” seru Arfan, Sabtu (26/4/2025).

Dekan Fakultas Hukum Unisma itu menuturkan, ruang lingkup pelecehan seksual memang luas. Ketika dilakukan visum secara fisik terkadang tidak terlihat, karena pelecehan seksual seringkali tidak melibatkan hubungan seksual maupun bekas luka.

“Tapi ketika dicek secara psikologis bisa keluar hasilnya, bahwa ternyata dia terganggu karena kejadian yang menimpa dirinya. Tinggal ditambah dengan saksi korban, sehingga bisa memperkuat pembuktian di pengadilan,” ungkapnya.

Terkait status saksi, Arfan mengatakan, korban dalam kasus pelecehan seksual bisa sekaligus sebagai saksi korban. Meski demikian hal ini tidak mudah, karena korban seringkali mengalami tekanan psikis hingga sulit mengungkapkan peristiwa yang dialaminya.

“Saya melihat, tekanan mental menyebabkan korban takut speakup, karena ketika perempuan mengalami seperti itu butuh mental kuat. Mungkin dia akan bicara secara rinci, jika pendamping seperti psikiater dan psikolog memberikan pendampingan secara khusus,” bebernya.

Lebih jauh Arfan memaparkan, keuntungan visum psikis bagi korban pelecehan seksual yang kesulitan mendapat visum fisik. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

“Dalam visum psikis, bentuknya adalah perlindungan terhadap korban, sehingga tidak mengganggu asas praduga tidak bersalah. Asas itu kan selama dia belum mendapat putusan oleh hakim, dia tak bisa dinyatakan bersalah,” tegasnya.

Selain itu, korban yang kesulitan mendapatkan bukti fisik akan mendapatkan dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Terdapat regulasi untuk memastikan  korban merasa aman dan tidak terancam selama proses hukum berjalan.

“UU TPKS sudah cukup baik untuk menghadapi persoalan tersebut, tinggal bagaimana konsistensi terhadap penegakan hukumnya saja. Tentu butuh dukungan baik dari penegak hukum dan masyarakat untuk mendukung proses penegakan hukum berjalan dengan baik,” pungkasnya.

Arfan berpesan, agar siapapun yang pernah mengalami pelecehan seksual berani terbuka. Ia menyampaikan, tidak perlu cemas tentang kemungkinan adanya tuntutan balik pencemaran nama baik dari pelaku.

“Selama proses dilakukan sesuai dengan prosedur, tuntutan pencemaran nama baik sulit dilakukan. Siapapun yang merasa dirugikan boleh menuntut. Tapi ketika terjadi tindak pidana, proses hukum harus terus berjalan,” tegasnya. (ws13/rhd)

Pos terkait