Malang, SERU.co.id – Universitas Brawijaya (UB) telah mengukuhkan empat profesor lintas ilmu dalam bidang Bioenergi, Ilmu Hukum, Ekonomi, dan Hukum Internasional. Pengukuhan dilaksanakan, pada Sabtu (22/7/2023) di Gedung Samantha Krida, Jalan Veteran Kota Malang.
Para ilmuwan tersebut masing-masing Prof Dr Ir Bambang Dwi Argo, DEA, yang dikukuhkan sebagai Profesor aktif ke 12 di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP). Selain itu Profesor Bambang secara otomatis tercatat sebagai Profesor aktif ke 171 di UB. Ia juga sekaligus menjadi Profesor ke 320 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Selanjutnya, Prof. Dr. Setyo Widagdo, SH MHum dikukuhkan sebagai profesor aktif ke 6 di Fakultas Hukum (FH)dan profesor aktif ke 172 di UB. Ia pun menjadi profesor ke 321 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB. Sedangkan, Prof. Dr. Sukarmi, SH MHum dikukuhkan sebagai profesor aktif ke 7 di FH, Professor aktif ke 173 di UB serta Profesor ke 322 dari seluruh profesor UB.
Sementara, Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, SH MH sebagai Profesor aktif ke 8 di FH, dan Profesor aktif ke 174 di UB, serta menjadi Profesor ke 323 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Prof. Bambang Dwi Argo dalam orasi ilmiahnya memberikan pemaparan berjudul “Inovasi Reaktor Superkritis Semi Kontinyu untuk Produksi Biodisel” sebagai upaya pemenuhan kebutuhan energi nasional. Dimana bensin dan minyak diesel dari bahan fosil adalah jenis bahan bakar yang paling banyak digunakan. Namun demikian ketersediaannya sangat terbatas dan relatif tidak bersahabat dengan lingkungan.
Gagasan untuk menggantikan kedua bahan bakar tersebut dengan energi baru dan terbarukan adalah suatu keniscayaan untuk dapat direalisasikan. Bioetanol dan biodiesel adalah dua jenis bahan bakar baru dan terbarukan yang dihasilkan dari konversi bahan biomassa sebagai bahan dasar untuk memproduksi biodiesel. Tanpa menggunakan katalis, dari bahan non pangan, dan tanpa tambahan zat kimia.
“Minyak tumbuhan atau hewan seperti ekstrak dari biji jarak, kapok, nyamplong, mikro alga atau dari lemak ikan telah diteliti dan berhasil dikonversi menjadi biodiesel,” serunya
Sementara itu, dalam orasi ilmiahnya, Prof. Setyo Widagdo memberikan pemaparan berjudul “Pembentukan Perjanjian Internasional dengan Enhancement Model sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan”. Prof. Setyo menawarkan suatu model penyelesaian baru sebagai hard law untuk menggantikan soft law yang selama ini digunakan yaitu Code of Conduct, atau aturan tingkah laku.
“Pembentukan perjanjian internasional dengan enhancement model memiliki kelebihan yaitu merupakan peraturan yang mengikat secara hukum (legal binding). Sehingga dalam penerapannya memiliki kepastian hukum. Dengan demikian dapat digunakan sebagai alternatif menyelesaikan sengketa Laut Cina selatan karena sifatnya yang mengikat secara hukum,” ungkapnya.
Selanjutnya Prof. Sukarmi memberikan pemaparan berjudul “Model Pengaturan Leniency Program untuk Memerangi Kartel dalam Bayang-bayang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. Kartel sendiri merupakan salah satu bentuk pelanggaran persaingan usaha yang sulit untuk pembuktiannya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah berupaya memerangi Kartel.
“Kartel merupakan perjanjian yang dilarang dilakukan oleh para pelaku usaha, untuk mengatur tingkat pasokan dan harga barang/jasa di pasar tersebut,” ujarnya
Prof. Sukarmi menerangkan, Perilaku kartel sudah tersusun dan terencana dengan rapi. Leniency Program Terintegrasi dan Holistik dalam mengungkap kartel dan pengaturannya dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Leniency Program ini belum pernah digunakan oleh KPPU sebagai instrumen dalam mengungkap kartel.
“Leniency program adalah kebijakan yang menjelaskan bahwa bagi anggota pelaku kartel yang terlebih dahulu melaporkan terkait perjanjian kartel tidak akan dikenakan sanksi/pengurangan denda perbuatan kartel,” cetusnya.
Prof. Sukarmi menambahkan, dalam leniency program berlaku prinsip first come first served dan berdasar pada bukti yang dapat disampaikan. Itu berarti, siapa yang lebih dahulu mendekati dan melaporkan kepada otoritas persaingan dan seberapa besar bukti yang disampaikan, dialah yang berhak mendapatkan pengampunan. Kekuatan yang ada pada model ini adalah semakin awal dan semakin besar peranan dari whistleblower akan semakin besar pengurangan denda atau bahkan dibebaskan.
“Adapun kelemahan model leniency program ini adalah tidak dibarengi dengan Lembaga Perlindungan Pemohon Leniency Program sebagai jaminan adanya kerahasiaan bagi pemohon,” ujarnya.
Dengan adanya leniency program ini, menurut Prof. Sukarmi, bisa berdampak pada penurunan harga rata-rata. Bisa pula berdampak pada menurunkan kartel dan mencegah adanya kemungkinan kartel terbentuk kembali. Sekaligus memiliki efek pencegahan kartel akan terjadi lebih besar.
Sementara itu, dalam orasi ilmiahnya, Prof. Muchamad Ali Safaat memberikan pemaparan berjudul “Model Pendekatan Realisme Hukum dalam Pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara”. Ali menyoroti tentang adanya produk dan putusan hukum yang mendapat perhatian masyarakat dan menimbulkan pro dan kontra. Perhatian ini, disebabkan oleh tiga hal.
“Pertama, putusan atau produk hukum ini memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, adanya kelompok masyarakat dan ahli yang tidak setuju dan memberikan kritik karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional. Ketiga, produk dan putusan hukum ini, biasanya dibuat dalam waktu yang lebih cepat ketimbang biasanya di saat masih kuat penolakan dan kritik,” jelasnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Administrasi dan Sumber Daya, Universitas Brawijaya ini merumuskan model pendekatan realisme hukum dalam pengembangan ilmu hukum tata negara. Model ini tidak membatasi studi ilmu hukum tata negara hanya pada norma di dalam peraturan perundang-undangan. Namun juga meliputi pola dan kondisi sosial politik di mana norma tersebut dibentuk dan berlaku serta saling mempengaruhi.
“Pendekatan ini merupakan pengembangan dari studi ilmu hukum tata negara saat ini yang didominasi pendekatan positivistik untuk kepentingan praktis dalam penyelenggaraan negara,” imbuhnya.
Prof. Muchamad Ali Safaat menambahkan lagi, pendekatan realisme hukum dalam bidang ilmu hukum tata negara memiliki kekuatan mampu menjelaskan dan memprediksi produk dan keputusan hukum. “Namun pendekatan ini memiliki kelemahan mengaburkan batas ilmu hukum tata negara dengan ilmu lain,” pungkasnya. (dik/mzm)