Lindungi Tukik, BSTC Gandeng FKH UB Untuk Konservasi Penyu di Bajul Mati

Malang, SERU.co.id – Tak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu. Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya, seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik tersebut menyentuh perairan dalam.

dr. Nofan Rickyawan, menjelaskan kondisi tukik di konservasi penyu BSTC. (rhd)

Menyadari eksistensi reptil yang dilindungi ini. Beberapa tempat populer yang dipilih induk penyu betina sebagai tempat bertelur, dibangun stasiun penetasan guna membantu meningkatkan tingkat kelulushidupan (survival). Salah satunya yang diinisiasi Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) Bajulmati Sea Turtle Conservation (BSTC) di kawasan pantai Bajul Mati, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Disebutkan, ada 3 jenis penyu ditemukan mendarat di sepanjang garis pantai Malang Selatan, dari 6 jenis penyu di Indonesia dari 7 jenis di dunia.

Bacaan Lainnya

Tak mudah memang. Dalam konservasi tukik harus memperhatikan karakteristik dan penanganan yang benar, agar tukik kembali survive di alam bebas. Untuk itu, BSTC menggandeng beberapa perguruan tinggi, salah satunya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya (FKH UB). Agar lebih intens, FKH UB melibatkan puluhan civitas akademikanya dalam upaya konservasi dalam kegiatan Lokakarya Konservasi Penyu Malang Selatan, dalam Visitasi Lapang dan Workshop, yang berlangsung di pantai Bajul Mati (Minggu, 14/7/2019) dan FKH (Senin, 15/7/2019).

“Dalam rangkaian Dies Natalis ke-11, kami mengajak sumberdaya yang ada untuk mengecek kesehatan san kondisi penyu, sekaligus memberikan edukasi konservasi penyu kepada para peserta visitasi. Juga terkait fenomena sampah plastik yang dapat mengancam keberlangsungan hidup penyu,” jelas Dekan FKH UB, Dr Ir Sudarminto Setyo Yuwono MApp Sc.

Menurut Ketua Pelaksana drh. Albiruni Haryo MSc, pantai Bajul Mati merupakan area pendaratan penyu untuk bertelur dan menghasilkan anak penyu atau tukik. Pada saat pendaratan, ditemukan beberapa penyu dengan kondisi tak sehat, terluka, dan lainnya. Untuk itu, peran dokter hewan yang berkompeten sangat diperlukan dalam penanganan tersebut. “Ada beberapa penyu tubuhnya terluka akibat terjerat tali atau material keras di bawah laut. Sebelum dilepas kembali ke laut, kami periksa kondisi kesehatannya. Setelah siap, maka penyu maupun tukik kami lepas ke lautan,” terang dr Albi.

Sudarminto dan Albiruni, beserta tim menyusuri lokasi tempat bertelurnya penyu. (rhd)

Melalui kegiatan visitasi yang dilakukan, harapannya akan menambahkan kecintaan terhadap satwa liar terutama penyu maupun tukik. “Dokter hewan yang menekuni dan peduli terhadap penyu maupun tukik masih minim. Dengan adanya kegiatan ini, harapannya dokter hewan yang peduli terhadap tukik semakin banyak,” ungkap Ketua Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jatim II, drh Dedi.

Ketua BSTC, Sutari mengatakan, kegiatan konservasi ini dilakukan mandiri sejak 2009, dengan mengambil tempat di selatan musholla. Pada 2018 awal, BSTC didukung perhutani dan pengelola diangkat bareng-bareng. “Awalnya banyak masyarakat luar daerah dan sekitar yang memakan daging dan telur penyu sembarangan tanpa memikirkan dampak ke depannya. Alhamdulillah, hingga saat ini banyak pihak yang membantu secara sukarela,” terang Sutari.

Biasanya, penyu mendarat sekitar bulan Maret- September untuk bertelur. Pemindahan telur ke bak konservasi tidak boleh setelah menetas 2 hari. Karena sudah terbentuk embrio, sehingga dikhawatirkan akan rusak atau lahir cacat jika dipaksa pindah. Selanjutnya, penetasan lebih 50 hari tergantung suhu. Lebih terik lebih cepat menetas. Tukik akan keluar dari pasir saat malam. 

“Sengaja kami biarkan di pasir untuk melihat kemampuan jalan, selanjutnya pagi dimasukkan ke kolam karantina selama 2 minggu untuk melihat kemampuan survival dalam air. Meski jenis tukik itu omnivora, kami berikan makan daging ikan tuna. Setelah karantina, nantinya dipilah mana yang sehat dan cacat. Sehat dilepas, cacat dipisahkan. Kategori cacat itu karena lemes atau cacat tubuh,” jelas dr. Nofan Rickyawan, salah satu anggota tim dokter konservasi dari FKH UB. (rhd)

Pos terkait