Ketidakakuratan Isi Dari LHKPN

Ketidakakuratan Isi Dari LHKPN
Ilustrasi. (ist)

Oleh Nadila Sifa Maharani
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang

Ketaatan dan ketundukan seluruh penyelenggara negara dalam melaporkan kekayaannya sendiri patut dipertanyakan. Pasalnya, sepanjang 2018 hingga 2020, KPK memproses 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) dan 95% hasilnya tidak akurat. Dengan kata lain, hanya 5% penyelenggara negara yang jujur melaporkan kekayaannya. Pejabat negara diduga menyembunyikan atau melaporkan aset secara tidak benar.

Bacaan Lainnya

Pimpinan KPK Firli Bahuri mengungkapkan salah satu yang terparah adalah pejabat DPR. Pandemi adalah alasan karena karyawan lebih banyak bekerja dari rumah. Anggota DPR yang menyatakan kekayaan masih minim, hanya 58% atau 330 dari total 569 anggota parlemen. Ada satu fraksi yang melaporkan hanya 22% anggotanya, namun persentase tertinggi mencapai 88%. Indonesia Corruption Watch ICW (2021) juga melaporkan catatan kepatuhan yang buruk bagi pejabat Eksekutif, Legislatif, yudikatif, TNI-Polri dan BUMN/BUMD dalam pengajuan LHKPN. Hingga 80% dilaporkan menyebut LHKPN sebagai “asalkan anda bahagia”, karena LHKPN biasanya tidak berlangsung di bawah pengawasan penyelenggara sendiri. Para penyelenggara negara juga belum paham benar apa makna LHKPN sehingga sering mengerjakan LHKPN “yang penting kirim”.

Melaporankan Harta Kekayaan merupakan kewajiban seluruh penyelenggara negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi. Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa semua penyelenggara negara wajib melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Bagian 20 ayat 1 mengingatkan bahwa pejabat publik dikenakan sangsi administratif jika mereka gagal melaporkan aset sebelum atau setelah menjabat. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk menyampaikan LHKPN. Adapun kewajiban menyampaikan LHKPN kepada KPK memiliki makna penting. Pertama, ialah kepatuhan, kejujuran, dan ketertiban setiap penyelenggara negara dalam menyampaikan LHKPN menjadikan landasan kuat dalam upaya membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Kedua, ketidakpatuhan dan ketidakakuratan setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selayaknya tidak hanya mendapat sangsi administratif.

Lebih ironis lagi, setiap penyelenggara tidak akurat saat mengirimkan LHKPN. KPK menemukan kekayaan penyelenggara negara atau penyelenggara negara meningkat 70,3% baik di tingkat pusat maupun daerah selama pandemi Covid-19. Hal ini berbeda dengan keadaan perekonomian masyarakat Indonesia pada umumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin mencapai 27,5 juta orang pada Maret 2021. Jumlah itu turun hanya 0,01 juta dibandingkan September 2020. Namun, dibandingkan Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat 1,12 juta jiwa. Akal kita pun bertanya-tanya, mengapa harta kekayaan pejabat dan penyelenggara naik, namun tidak akurat dalam melaporkan kepada KPK?. Apa LHKPN ini hanya sebagai formalitas guna memenuhi undang-undang saja, ataukah karena sangsi yang diberikan hanya sekadar dipahami sangsi administratifnya?. Mungkin ada harta yang didapat dari setiap petugas secara tidak wajar atau ilegal?. Pelaporan LHKPN ini ialah salah satu cara untuk memberantas korupsi, jika tidak dilaksanakan dengan baik bahan menolak untuk menyampaikan LHKPN, maka penyelenggara negara patut dipertanyakan komitmenya dalam mendukung pemberantasan korupsi.

Hemat saya, langkah-langkah komprehensif harus diambil untuk menyerahkan LHKPN kepada semua penyelenggara negara untuk mencapai pembebasan KKN dan pemerintahan yang baik. Pertama, setiap LHKPN penyelenggara negara secara hukum wajib diteliti dan dikaji secara mendalam oleh KPK. Dalam hal dugaan adanya petunjuk yang tidak sesuai, segera beri tahukan kepada yang bersangkutan dan apa langkah KPK jika terbukti LHKPN berpotensi terjadinya pelanggaran administrasi dan hukum. Kedua, LHKPN harus dijadikan sebagai wahana saling mengawasi di lingkungan instansi tempat penyelenggara negara bekerja. Pimpinan instansi dan kepangkatan dapat memanfaatkan LHKPN untuk menciptakan birokrasi yang bersih, transparan dan akuntabel. Hal ini akan memudahkan KPK untuk melakukan ujian LHKPN. Penyelenggara LHKPN yang 100% legal dan benar menciptakan lingkungan antikorupsi yang kondusif untuk good governance. Ketiga, jika beberapa penyelenggara negara saat ini tidak melaporkan LHKPN yang diyakini tidak ada sangsi pidana, sebaiknya kebijakan LHKPN diubah menjadi hukuman berat sebagai upaya terakhir. Harus ada efek jera terhadap semua penyelenggara pemerintahan yang telah bertindak lalai dan belum atau belum mengajukan LHKPN. Sanksinya harus berupa penjara dan denda, bukan hanya sangsi administratif.

UU 28/1999 harus diubah untuk memasukkan hukuman pidana bagi penyelenggara yang curang atau lalai menolak untuk menyerahkan LHKPN. Budaya ketaatan dan ketundukan dalam pelaporan LHKPN tidak dapat dibangun tanpa adanya sangsi hukum yang memaksa.


Baca juga:

disclaimer

Pos terkait