DPR-RI Apresiasi Kemandirian Fiskal Kota Malang, Regulasi PBB Masih Jadi Sorotan

DPR-RI Apresiasi Kemandirian Fiskal Kota Malang, Regulasi PBB Masih Jadi Sorotan
Komisi II DPR-RI menyoroti regulasi PBB dan penerapannya di berbagai daerah, termasuk Kota Malang. (bas)

Malang, SERU.co.id – Komisi II DPR-RI mengapresiasi kemandirian fiskal Pemerintah Kota Malang. Meski demikian, regulasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang turut menyumbang pemasukan daerah masih menjadi sorotan.

Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR-RI, Muhammad Khozin mengungkapkan, kunjungannya dalam rangka pengawasan terhadap penyerapan dana transfer ke daerah (TKD). Selain itu untuk mengawasi implementasi kebijakan fiskal di daerah.

Bacaan Lainnya

“Kota Malang menjadi salah satu dari sedikit daerah dengan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD yang cukup tinggi, yakni sekitar 45 persen. Ini menunjukkan adanya kemandirian fiskal yang patut diapresiasi,” seru Gus Khozin, sapaannya, Jumat (22/8/2025).

Gus Khozin menjelaskan, TKD yang diterima Kota Malang pada tahun 2025 mencapai Rp1,3 triliun dari total kebutuhan APBD sebesar Rp2,1 triliun. Sementara jumlah PAD diperkirakan mencapai hampir Rp800 miliar.

“Capaian tersebut jauh lebih baik dibanding daerah-daerah lain di Pulau Jawa yang PAD-nya hanya 10–15 persen dari APBD. Tentunya kalau berbicara filosofi otonomi daerah bukan tentang kebijakan saja, tapi harus memiliki kemandirian fiskal,” jelasnya.

Lebih lanjut, DPR-RI juga menyoroti potensi gejolak kebijakan perpajakan, khususnya terkait penerapan tarif tunggal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Belakangan, kebijakan tersebut menuai protes di sejumlah daerah seperti Pati, Semarang dan Bone.

Gus Khozin menyimpulkan, berdasarkan penjelasan Kepala Bapenda Kota Malang, kebijakan tarif tunggal dinilai bisa menimbulkan ketidakadilan. Pasalnya, tidak membedakan jenis dan kemampuan wajib pajak masyarakat.

“Kalau semua disamaratakan tanpa kategorisasi, maka masyarakat kecil bisa terdampak berat. Ini menjadi catatan penting, karena tidak ada norma jelas yang mengatur pemilahan tarif tersebut,” tegasnya.

Ia menambahkan, pihaknya akan membawa temuan ini ke rapat kerja bersama Kementerian Dalam Negeri dan para kepala daerah se-Indonesia. Tujuannya untuk mempertanyakan kejelasan dasar hukumnya.

“Kami akan mempertanyakan dasar hukumnya. Kalau memang tidak jelas, maka perlu segera ada solusi, agar tidak menimbulkan kegaduhan serupa di daerah lain,” ujarnya.

Gus Khozin juga mengingatkan, aksi massa di Kabupaten Pati akibat persoalan PBB harus menjadi perhatian. Jangan sampai, persoalan tersebut merembet ke daerah lain.

“Tadi saya menyampaikan kepada Wali Kota Malang, agar melakukan mitigasi sebelum menerapkan suatu kebijakan. Jangan terjadi pro kontra baru melakukan mitigasi,” tuturnya.

Sementara itu, Wali Kota Malang Wahyu Hidayat menjelaskan, Kota Malang tidak mengalami gejolak seperti daerah lain. Pasalnya, sejak awal telah mengantisipasi potensi kenaikan PBB melalui Perda yang mengatur skema lebih adil.

“Tidak ada kenaikan PBB. Bahkan kami sudah menyiapkan skenario, termasuk membebaskan PBB untuk nominal hingga Rp30.000 pada tahun 2026. Ini bagian dari upaya kami menjaga stabilitas dan kepercayaan publik,” urai Wahyu.

Ia mengakui, dominasi APBD Kota Malang memang masih bergantung pada dana transfer pusat. Namun dengan efisiensi dan pergeseran anggaran, Pemkot Malang tetap dapat menjalankan program prioritas yang menyentuh langsung masyarakat.

“Dana transfer memang menurun, tapi program tetap bisa jalan dengan efisiensi. Kami fleksibel, selalu koordinasi dengan pemerintah provinsi, agar tetap sesuai aturan. Dan masyarakat juga memahami kondisi ini,” pungkasnya. (bas/rhd)

 

 

Pos terkait