Iwate, Jepang, SERU.co.id – Kebakaran hutan dahsyat melanda kota Ofunato, Prefektur Iwate, sejak Selasa (26/2/2025), menjadi yang terbesar dalam lebih dari tiga dekade. Api telah membakar setidaknya 1.400 hektar lahan hingga Sabtu (1/3/2025), melampaui rata-rata tahunan luas area terdampak kebakaran di Jepang.
Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Jepang mencatat lebih dari 4.500 orang di 1.896 rumah tangga terdampak. Dengan lebih dari 1.000 orang mengungsi ke pusat-pusat evakuasi. Sementara itu, setidaknya 84 bangunan hangus terbakar dan polisi menemukan satu korban tewas akibat kebakaran.
Para ahli mengaitkan kebakaran ini dengan kondisi cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim. Curah hujan di Ofunato bulan ini hanya 2,5 mm, jauh lebih rendah dari rekor sebelumnya, 4,4 mm pada Februari 1967. Selain itu, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah Jepang, menyebabkan musim kebakaran semakin parah, terutama pada periode Februari hingga April, ketika angin kencang dan udara kering mendominasi.
Profesor Madya di Institut Penelitian Pencegahan Bencana Universitas Kyoto, Yoshiya Toge menjelaskan, sejak Desember 2024, total curah hujan di wilayah tersebut berada jauh di bawah rata-rata. Ia membandingkan kebakaran ini dengan insiden serupa di Kota Kamaishi, Iwate, pada 2017 yang membakar 400 hektar hutan.
Baca juga: Paus Fransiskus dalam Kondisi Kritis Akibat Pneumonia
“Kecepatan angin maksimum saat kebakaran di Ofunato mencapai 18,1 meter per detik, cukup kuat untuk membuat api merambat dari lantai hutan ke puncak pohon,” seru Toge.
Upaya pemadaman dan evakuasi sebanyak 1.700 petugas pemadam kebakaran dikerahkan dari berbagai wilayah Jepang untuk mengendalikan api. Rekaman udara menunjukkan kepulan asap tebal menyelimuti kawasan pegunungan di sekitar lokasi kebakaran, sejak Sabtu (1/3/2025).
Pihak berwenang masih menyelidiki penyebab kebakaran. Namun, data menunjukkan sebagian besar kebakaran hutan di Jepang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Baca juga: Trump Nyatakan Perang Tarif Impor dengan Kanada, Meksiko dan China
“Dalam kondisi cuaca seperti ini, penting bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menangani sumber api,” ujar Toge.
Berdasarkan pengalaman pemulihan pasca kebakaran di Kamaishi tahun 2017, upaya rehabilitasi bisa memakan waktu hingga lima tahun, termasuk reboisasi. Namun, butuh 40 hingga 50 tahun agar pohon-pohon baru tumbuh hingga siap ditebang kembali.
Selain itu, upaya pencegahan erosi tanah sangat penting untuk menghindari dampak ekologis yang lebih luas.
Baca juga: Polemik Nilai Tukar Dolar AS Rp8.170, Google dan BI Sebut Ada Kesalahan
“Jika tanah dan pohon yang hangus terbawa ke laut, ini bisa mengancam kehidupan laut di sepanjang pesisir Sanriku,” tambah Toge.
Jepang mencatat sekitar 1.300 kebakaran hutan pada tahun 2023, meskipun jumlahnya menurun dibandingkan puncaknya di era 1970-an. Namun, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim membuat risiko kebakaran semakin tinggi.
Pemerintah Jepang kini berupaya meningkatkan kesiapsiagaan dan memperkuat strategi mitigasi untuk mencegah bencana serupa di masa depan. Sementara itu, masyarakat diimbau untuk tetap waspada dan mengikuti instruksi evakuasi demi keselamatan mereka. (aan/mzm)