Malang, SERU.co.id – Pengesahan RUU Kejaksaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) pada Desember 2024 lalu, menuai polemik beberapa pakar hukum. Pasalnya, RUU KUHAP sebagai acuan sistem penegakan hukum di Indonesia belum selesai dibahas, bahkan belum disahkan oleh DPR RI.
Merespons hal itu, Dekan Fakultas Hukum UMM, Prof Dr Tongat SH MHum menyampaikan, pentingnya RUU KUHAP sebagai acuan utama dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Idealnya RUU KUHAP diselesaikan terlebih dahulu sebelum membahas undang-undang sektoral lainnya, seperti RUU Kejaksaan.
“Kenyataannya, DPR sudah membahas dan mengesahkan RUU Kejaksaan, sementara RUU KUHAP masih belum jelas kapan akan selesai. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam sistem hukum kita,” seru Prof. Tongat, dalam Seminar Nasional bertemakan “Sinkronisasi dan Harmonisasi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP” yang digelar FH UMM, Kamis (30/1/2025).
Ketidakharmonisan ini, menurut beberapa narasumber lainnya, dapat menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum. Dalam seminar ini dipaparkan pentingnya harmonisasi dan kesetaraan dalam pembentukan undang-undang, termasuk RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP.
Senada, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, Prof Dr Deni SB Yuherawan SH MS memaparkan, berbagai aspek yang menjadi perhatian dalam RUU Kejaksaan. Menurutnya, kejaksaan telah melakukan overlapping terhadap kewenangan penyelidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan.
“Pasal 30 ayat (2) dan (3) UU Kejaksaan memberikan kewenangan atribusi kepada kejaksaan dalam bidang perdata, tata usaha negara, serta ketertiban dan ketenteraman umum. Namun, tidak ada kewenangan atributif bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan,” jelas Prof. Deni.
Prof Deni juga menyoroti Pasal 26 dan 27 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang secara tegas menyatakan, penyidikan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, yakni KUHAP.
“Berdasarkan KUHAP sebagai lex generalis. Penyidikan dilakukan oleh kepolisian, sedangkan kejaksaan bertugas sebagai penuntut dan pelaksana putusan pengadilan. Tidak ada perintah eksplisit dalam UU Tipikor yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menyidik tindak pidana korupsi,” paparnya.
Lebih lanjut, Prof. Deni menguraikan, Pasal 10A ayat (1) UU KPK memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh polisi atau jaksa. Namun, hal ini tidak serta-merta memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi.
Prof. Deni juga menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-V/2007 terkait judicial review Pasal 30 UU Kejaksaan. Putusan tersebut tidak sampai pada pokok perkara mengenai kewenangan jaksa untuk menyidik. Karena para pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Konstruksi hukum kita saat ini membutuhkan kajian mendalam, agar tidak terjadi kerancuan. RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP harus disinkronkan untuk menjamin kepastian hukum dan mendukung reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia,” tutup Prof. Deni.
Sementara itu, Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum PTM, Assoc. Prof Dr Faisal SH MHum menyoroti, urgensi sinkronisasi antara RUU Kejaksaan dan KUHP. Guna memastikan efisiensi serta kejelasan dalam proses hukum di Indonesia. Ia menekankan, perubahan regulasi harus memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.
“Penyesuaian regulasi Kejaksaan dan KUHP adalah suatu keharusan. Dan memastikan sistem peradilan pidana kita berjalan dengan lebih efisien dan selaras dengan kebutuhan hukum yang berkembang,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dr. Trisno Raharjo SH MH menjelaskan, kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan Republik Indonesia. Menurutnya, dalam menjalankan tugasnya, aparat kejaksaan harus berpegang pada prinsip keadilan dan proporsionalitas agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
“Tugas kejaksaan dalam penegakan hukum harus selalu didasarkan pada asas legalitas, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia,” tegasnya.
Trisno juga menyoroti tantangan dalam praktik hukum kejaksaan, termasuk bagaimana menyeimbangkan aspek represif dan preventif dalam menegakkan hukum.
“Para pakar dan praktisi harus memastikan reformasi hukum pidana tidak hanya memperkuat kewenangan kejaksaan. Tetapi juga menjamin hak-hak masyarakat dalam proses hukum,” tandasnya. (rhd)