Surabaya, SERU.co.id – Prasetyo Wahyu Ababil, (24) warga Trenggalek, Jawa Timur diduga menjadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Atas peristiwa ini, korban melapor ke Polda Jatim.
“Kasus yang menimpa saya bermula pada tahun 2019, orang tua mencarikan kerja untuk saya ke luar negeri. Orang tua saya lantas kenal sama seorang wanita inisial WN dan menawarkan bisa memberangkatkan kerja ke luar negeri,” kata Prasetyo Wahyu, saat menunjukkan tempat tidurnya di Hongkong.
Lebih jauh diterangkan, orang tuanya juga telah menyerahkan uang kepada WN total Rp 105 juta, sebagai syarat agar bisa berangkat bekerja ke luar negeri.
“Setelah menyerahkan uang, orang tua meminta saya berangkat ke Jakarta untuk bertemu WN. Dimana dia berjanji akan berangkatkan ke Korea atau Australia dengan gaji menjanjikan,” ungkapnya.
“Untuk di Korea bekerja di pabrik sedangkan di Australia di restoran,” lanjut dia.
Usai bertemu dengan wanita inisial WN di salah tempat di Jakarta, korban menyerahkan uang Rp 85 juta. Kemudian korban (Prasetyo) diminta pulang ke rumah dan menunggu kabar.
Diceritakan Prasetyo Wahyu, setelah ia pulang ke rumah hampir satu tahun tidak ada kejelasan. Korban pun sempat menghubungi WN melalui telfon seluler namun tidak ada respon.
“Pada tahun 2020 akhirnya korban kembali menuju ke Jakarta untuk bertemu WN yang dijanjikan akan diberangkatkan ke Inggris,” jelas korban.
Setelah proses seminggu, visa turun. Sialnya, saat akan berangkat, virus korona (covid-19) mengganas dan terjadi lockdown. Akhirnya korban gagal terbang. Korban pun ditampung di kontrakan selama satu tahun di Jakarta.
Baca juga: Polisi Tetapkan 5 Orang Tersangka dari 2 Perusahaan Perdagangan Mahasiswa ke Jerman
Setelah mulai longgar, korban pulang ke rumah di Trenggalek. Pihak korban kembali terus menghubungi WN terkait kejelasan keberangkatan.
“Ada kabar lagi terus berangkat ke Jakarta. Saya sudah diuruskan visa Australia. September 2022 berangkat ke Australia. Sampai di Bandara Sidney ditahan imigrasi. Ternyata ada dokumen palsu, kemudian dideportasi pulang ke Indonesia,” terangnya
Sesampainya di Jakarta korban ditampung kembali di sebuah rumah kontrakan. Saat hendak pulang ke Trenggalek, ternyata rumah orang tua di Trenggalek sudah dijual. Sebab, orang tua korban pinjam uang untuk memberangkatkan kerja anak.
Korban ditampung di Jakarta selama empat bulan. Setelah itu korban dipindah ke Nganjuk. Dia ditampung di rumah kontrakan selama satu tahun. Korban tidak beraktivitas dan hanya makan minum. Hingga pada awal tahun 2024 ada kabar dari WN. Korban lalu ke Jakarta dan akan diberangkatkan kerja ke Hongkong.
“Terus awal Maret berangkat ke Hongkong. Dijanjikan kerja laundry dan cuci mobil,” ungkapnya.
Sesampainya di Hongkong, korban dijemput orangnya WN. Korban disuruh tinggal di tenda rooftop apartemen yang ada kandang hewannya. Setelah dua hari korban tak kuat lalu mencari kos sendiri.
“Saya sama mas Aji (korban dari Banyuwangi) lalu ditempatkan di kos (apartemen) dikasih bekal beras dan mie selama satu bulan,” ungkapnya.
Setelah itu korban keluar kos. Korban selama enam bulan tanpa kejelasan di Hongkong. Bahkan untuk biaya tinggal dan mencukupi hidup, korban minta kiriman uang dari orang tua hingga habis sekitar Rp 20 juta.
Setelah itu merasa tidak kuat, korban dan Aji menyerahkan diri ke imigrasi di Hongkong. Kemudian di sana korban didampingi salah satu organisasi, teman korban juga melapor ke KBRI di Hongkong.
“Sempat ditampung di shelter di sana. Terus September 2024 pulang ke Indonesia,” tutup dia. (iki/ono)