Desa Tenggulun Lamongan, Dari Kampung Teroris Menjadi Kampung Moderat

Desa Tenggulun Lamongan, Dari Kampung Teroris Menjadi Kampung Moderat
Gapura masuk Desa Tenggulun Lamongan. (foto:IDN Times)

*)Oleh: Dr. Sholihul Huda, Mfil.I
(Pakar Kajian Perdamian Dunia Univ. Muhammadiyah Surabaya)

Desa Tenggulun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan sebelumnya dikenal sebagai markas jaringan teroris. Persepsi tersebut tidak selamanya salah, sebab dari desa ini tempat lahir serta rumah tinggal keluarga besar jaringan teroris Bom Bali, yaitu Amrozi, Ali Gufron (Mukhlas), dan Ali Imron. Ketiga orang tersebut masih bersaudara dan dikenal dunia Internasional sebagai Trio Bomber Bali (www.liputan6. com).

Bacaan Lainnya

Ulah mereka membuat 202 orang kehilangan nyawa. Sebagian adalah warga asing yang menjadikan Bali sebagai surga liburan mereka. Amrozi dan Ali Ghufron kemudian dieksekusi mati pada 2008 lalu. Sementara Ali Imron masih mendekam di Lapas Kerobokan Bali untuk menjalani pidana seumur hidup, (https://elshinta.com).

Sejak saat itu, cap sebagai desa penghasil teroris pun melekat pada Tenggulun. Situasi tersebut sempat berdampak terhadap kehidupan sosial-ekonomi warga desa Tenggulun. Warga mulai risih dengan sebutan desa teroris. Tak ada yang bisa dinikmati dari label desa teroris. Warga di sana seakan terisolasi. Bahkan, mereka yang sebelumnya mengandalkan penghasilan menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pun terimbas. Banyak negara tujuan yang menolak mentah-mentah warga ber-KTP Tenggulun.

Namun, dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Desa Tenggulun Lamongan yang dulu dikenal sebagai produsen teroris dan pusat jaringan teroris Internasional berubah total. Mereka bertekad dan mengakhiri stigma Desa Teroris. Usaha serta perjuangan tersebut mulai kelihatan hasil dan telah terjadi perubahan luar bisa dan kini menjadi desa percontohan deradikalisasi atau Desa moderasi, (www.idntimes.com ).

Perubahan tersebut, salah satunya dikarenakan dengan kiprah yang dilakukan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang secara sabar dan konsisten melakukan upaya deradikalisasi di kalangan para mantan kombatan teroris. Sehingga mereka kemudian menemukan jalan baru kehidupan yang lebih baik dan beradab di tengah masyarakat Indonesia. Sebelumnya mereka dianggap sampah masyarakat dan pembunuh terkejam. Proses ini menjadikan kampung Tenggulun berproses dan berbenah menjadi kampung yang lebih toleran dan moderat.

Kondisi Keagamaan Masyarakat Tenggulun

Masyarakat Desa Tenggulun sebagian besar menganut paham keagamaan Nahdhatul Ulama (NU). Namun golongan Muhammadiyah juga termasuk dominan di desa ini. Kegiatan keagamaan sebagian besar masyarakat Desa Tenggulun adalah kegiatan yang bersifat ke NU-an. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya jumlah kegiatan keagamaan yang didominasi oleh masyarakat yang menganut paham NU.

Sedangkan kegiatan masyarakat Desa Tenggulun yang menganut paham Muhammadiyah biasanya hanya mengadakan pengajian umum. Meskipun tidak selalu berlangsung sapanjang tahun. Walaupun diantara keduanya memiliki perbedaan pemahanaman dalam pelaksaan kegiatankeagamaan. Namun hubungan antara golongan Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyyah berjalan secara harmonis tanpa ada konflik diantara keduanya. Sebab masyarakat desa ini memiliki sikap yang toleran dalam urusan keagamaan.

Selain dua ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah sebagai representasi corak kehidupan keagamaan warga desa Tenggulun, adapula keberadaan Pesantren Al Islam yang juga memberikan corak kuat keagamaan warga desa Tenggulun. Pesantren Al-Islam merupakan lanjutan Pesantren yang pernah didirikan oleh Kakek Chozin kakak Amrozi.

Di zaman pendudukan Belanda, Kakek Chozin telah mendirikan pesantren salaf di Tenggulun. Pendahulu Chozin adalah orang yang mengawali dakwah di Tenggulun.

“Memang diakui masyarakat sini bisa baca bismilah, bisa fatehah itu ya dari nenek moyang kami,” ujarnya.

Setelah sekian waktu pesantren tersebut hadir, sejumlah persoalan membuat pondok mulai redup. Persoalan pertama adalah ketika kakek Chozin wafat saat belajar di Arab Saudi. Akhirnya pondok kehabisan kader dan lambat laun pesantren pertama di Tenggulun itu berhenti (https://gosrok.blogspot.com/2013).

Setelah sekian lama vakum, Chozin yang telah dewasa mulai tergugah untuk segera menghidupkan kembali pesantren yang telah dirintis nenek moyangnya. Harapan itu semakin nyata ketika adik kandungnya Ali Gufron (Muchlas) lulus dari Ponpes Al Mukmin Ngruki tahun 1985. Namun pada tahun yang sama Muchlas diamanati untuk mengabdi di Afganistan selama lima tahun.

Pada tahun 1990, Muchlas pulang namun tidak langsung ke Tenggulun. Ia pulang ke Malaysia dan dinikahkan dengan wanita Malaysia oleh Uztadz Abu Bakar Baasyir dan Ustadz Abdulah Sungkar. Setahun kemudian, yakni 1991 Muchlas pulang ke Tenggulun untuk memperkenalkan isterinya. Ia hanya sekitar satu bulan tinggal dan kemudian berangkat kembali ke Malaysia untuk mulai merintis Ponpes Lukmanul Hakim.

Di Tenggulun, Chozin juga mulai merintis pesantren yang kini bernama Al Islam. Awalnya, Chozin berkonsultasi dengan pengelola Al Mukmin Ngruki tentang keinginannya mendirikan pesantren di Tenggulun.

“Setelah melihat banyak pesantren, satu-satunya pesantren yang menurut saya pas itu hanya Al Mukmin Ngruki. Kami melihat kedisiplinan santrinya juga kedisiplinan pengelolaannya,” ujar Pimpinan Daerah Majelis Tablik Muhammadiyah lamongan ini.

Berlanjut pada tahun 1992 sekitar bulan Juli, ia bersama tokoh Muhammadiyah setempat termasuk adik kandungnya Jakfar Sodiq melakukan rapat perencanaan membahas konsep pesantren. Baru pada tahun 1993, Al Islam mulai melakukan kegiatan belar mengajar dengan murid 30 santri (Ibid).

Sekian lama beraktfitas dengan normal, Al Islam terhentak saat pesantren itu dikaitkan dengan peristiwa Bom Bali. Dua adik kandung Chozin, Amrozi dan Muchlas ditangkap karena diduga terkait Bom Bali. Di sinilah ujian bagi Al Islam. Namun kecurigaan itu pupus saat bukti administrasi tidak membuktikan adanya keterkaitan antara Al Islam dengan Amrozi dan Muchlas. Bahkan Bupati Lamongan sendiri saat itu melakukan konferensi pers bahwa pesantren tidak terkait dan mesti diselamatkan, (Ibid).

Pesantren Al Islam yang didirikan oleh keluarga Amrozi (Pelaku Bom Bali) dikenal memilik corak keagamaan yang cenderung berkarakter Salafi-Wahabi dan terkesan ekslusif. Kesan tersebut tampak dari cara berpakian santriwati yang menggunakan cadar, sementara mayoritas warga Muslim (NU-Muhammadiyah) menggunakan pakaian biasa (jilbab atau kerudung) dan tidak bercadar. Sehingga pola tersebut, ditengarahi ada kaitan dengan jaringan-jaring Islam radikal di Indonesia.

Sebagaimana dari hasil riset, terpotret embrio gerakan Islam radikal di Desa Tenggulun Lamongan tahun 1992 ketika didirikanya Pondok Pesantrn Al Islam yang memiliki alur keilmuan dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo, (Fajar P, 20214). Keberadaan Pondok Pesantren Al Islam di Desa Tenggulun Lamongan menjadi tempat untuk penyebaran ideologi radikal melalui ceramah agama maupun pendidikan.

Penangkapan aktor dari peristiwa Bom Bali I di Desa Tenggulun membuat masyarakat Desa Tenggulun ikut menerima dampak sosial atas peristiwa tersebut, (Imam Qulyabi, 2020).

Peristiwa penangkapan aktor Bom Bali Amrozi Cs memberikan dampak luas terhadap Pesantren Al-Islam. Menurut pengasuh pesantren Al-Islam Ustadz. Chozin, meski tak terbukti keterlibatan antara Pesanteren al_Islam dengan persistwa Bom Bali, namun kejadian itu sedikit banyak mempengaruhi Pesantren Al Islam. Secara umum jumlah santri menurun pasca penangkapan, namun penurunan menurutnya tidak semata kerena peristiwa penangkapan.

Pasca penangkapan 2002 dan eksekusi 2008, memang ada semacam penyesuaian dari Pesantren Al Islam. Akan tetapi hal itu tidak kemudian merubah Al Islam secara ekstrem. Perubahan hanya kepada sikap yang lebih terbuka. Yang kemudian dilakukan adalah bagaimana membenahi proses pendidikan sebaik mungkin, ada tarbiyah, dakwah, dan makna baru jihad yang lebih subtantif daripada normatif. (*)

disclaimer

Pos terkait