Jakarta, SERU.co.id – Presiden Jokowi resmi meneken aturan baru, PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur gaji pekerja di Indonesia akan dipotong tiga persen untuk simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) 2027. Aturan baru ini dinilai semakin menambah beban baru, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja.
Presiden Indonesia, Joko Widodo menyampaikan, iuran sebanyak tiga persen dari gaji harus dibayarkan. 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen wajib dari pemberi kerja.
“Ini sudah dilakukan perhitungan matang mengenai aturan baru tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Seperti dulu BPJS di luar PBI yang gratis 96 juta juga ramai. Namun setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya, rumah sakit tidak dipungut biaya,” seru Jokowi.
Menurut PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera, peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri. Peserta yang dimaksud ialah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa pekerja paling singkat 6 bulan yang telah membayar simpanan. Simpanan adalah sejumlah uang yang dibayar secara periodik oleh peserta dan/atau pemberi kerja.
Jika pihak bersangkutan memiliki gaji sebesar UMR Jakarta Rp5.067.381, maka total simpanan Tapera sebesar Rp152.020 setiap bulannya. Jumlah tersebut dari iuran peserta Tapera sebesar Rp126.684 (2,5 persen gaji). Sementara pemberi kerja membayar sebesar Rp25.336 (0,5 persen gaji).
Baca jug: UM Nyatakan Sikap, Serukan Presiden Jokowi Jaga Cita-cita Proklamasi dan Reformasi
Aturan baru PP Nomor 21 Tahun 2024 ditolak oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) lewat keterangan resmi dari Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, Selasa (28/5/2024). Penolakan tersebut dilakukan setelah sejumlah diskusi, koordinasi dan pengiriman surat kepada Presiden.
“Apindo mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun aturan baru itu menduplikasi program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek,” jelasnya.
Untuk itu, dirinya beranggapan, tambahan biaya tersebut seharusnya bisa memanfaatkan sumber pendanaan BPJS Ketenagakerjaan. Dimana sesuai PP maksimal 30 persen atau Rp138 triliun. Aset JHT sebanyak Rp460 triliun dapat di gunakan untuk program MLT perumahan Pekerja.
“Jadi kami menilai aturan baru ini semakin menambah beban baru, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, beban pungutan pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja. Yaitu Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen dan Jaminan Pensiun 2 persen,” bebernya.
Tidak hanya itu, pemberi kerja juga membayar Jaminan Kesehatan 4 persen. Begitu juga Cadangan Pesangon sesuai dengan PSAK sekitar 8 persen. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
“Kalau tetap diterapkan, bisa lebih dulu dengan dana dari ASN, TNI, Polri. Jika hasil evaluasi sudah bagus dalam hal pengelolaan, maka selanjutnya dikaji untuk memperluas cakupan tersebut ke sektor swasta,” pungkas Shinta. (aan/rhd