Kota Malang. SERU – Tuntutan jaman memang tak terelakkan. Pun tuntutan kinerja jurnalis yang multi tasking. Sayangnya, tuntutan ini tak diimbangi dengan apresiasi perusahaan pada kesejahteraan si wartawan. Beda perusahaan memang beda aturan. Secara tupoksi, tugas jurnalis adalah menulis berita. Namun, fakta di lapangan, jurnalis dituntut mengambil foto, video, dan angle produk lain.
“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir perusahaan pers di Malang terus tumbuh. Termasuk mengembangkan konsep media konvergensi dengan multi platform. Sehingga menuntut jurnalis multi tasking, tak hanya menulis laporan berbentuk teks, namun juga dituntut mengambil video dan foto. Bahkan di era digital, berkembang jurnalisme data yang dituntut bahasa pemrograman dan visualisasi data,” ungkap Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin, membuka diskusi di Portal Coffee, Senin (30/12/2019) sore.
Sayangnya, lanjut Zainuddin, tuntutan multi tasking ini tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima jurnalis turut bertambah. Padahal risiko bekerja jurnalis di lapangan bertambah besar, seperti kekerasan fisik maupun kekerasan verbal bisa dialami siapapun. “Tuntutan keahlian jurnalis yang tinggi belum dibarengi dengan tingkat kesejahteraan yang memadai, dalam memenuhi kebutuhan hidup layak dan jaminan sosial. Disisi lain, risiko bekerja jurnalis pun di lapangan besar,” tambah uploader Surya Malang ini.
Sementara itu, Advokasi AJI Malang, Eko Widianto, mengatakan setiap perusahaan memang berbeda rule dan kebijakan. Ada banyak cara agar jurnalis dituntut memenuhi kewajiban, terutama pada jurnalis pemula. Alih-alih jika wartawan pemula bisa menyelesaikan pekerjaan, maka kesejahteraan akan ikut meningkat. Meski jumlahnya masih dibawah UMK.
“Ironisnya, seringkali jurnalis menyuarakan dan membela hak buruh, namun haknya sendiri seringkali terkebiri. Lantaran para jurnalis tidak memiliki serikat pekerja dalam sebuah perusahaan medianya. Sehingga jurnalis memutar otak bagaimana untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang melanggar atau tidak melanggar kode etik jurnalistik,” beber jurnalis Tempo ini.
Senada, jubir AJI Malang, Abdul Malik, mengatakan tuntutan multi tasking memang baik untuk upgrade bakat dan pengalaman jurnalis. Namun seringkali banyak hal yang diabaikan, sehingga menabrak aturan kode etik. “Tugas aslinya menulis berita, atau bikin video untuk jurnalis TV. Karena tuntutan, kadang menghandle wilayah manajemen juga,” beber kontributor CNN ini.
Bahkan, Dewan Pers mengeluarkan regulasi syarat perusahaan pers sebagaimana Standar Perusahaan Pers pada 2007. Sayangnya, upaya licik dilakukan perusahaan dalam pelaporannya agar terverifikasi administrasi dan terverifikasi adminitrasi dan faktual. Ada semacam kesepakatan dalam bentuk regulasi agar jurnalis mau menerima apa adanya, dan mengaku mendapatkan standarisasi, meski kenyataannya berbeda atas dasar sama-sama butuh.
Perlu diketahui, Standar Perusahaan Pers yang dikeluarkan Dewan Pers 2007, di antaranya: Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun; Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Selanjutnya, Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan; Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya; dan perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme.
AJI Malang memotret kondisi kesejahteraan jurnalis di Malang melalui mini riset yang dilakukan bidang Advokasi dan Serikat Pekerja. Riset dilakukan terhadap jurnalis muda, dengan masa bekerja antara kurang dari setahun hingga maksimal 2 tahun. Hasilnya, gaji jurnalis baru antara Rp 1,4 juta sampai Rp 2,5 juta per bulan. Upah yang diterima di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Malang 2019 sebesar Rp 2.668.420,18
Mereka juga mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) atau 13 gaji sesuai Standar Perusahaan Pers. Serta gaji mengalami peningkatan secara progresif. Sebagian telah dilindungi dengan jaminan sosial, meliputi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta mendapat hak-hak normatif yang lain.
Namun, AJI Malang menemukan sejumlah media tak memberikan jaminan sosial bagi jurnalis. Padahal jaminan sosial sangat dibutuhkan jurnalis yang melakukan kerja di lapangan. Serta menemukan sejumlah jurnalis yang bekerja di sebuah media massa yang gajinya justru anjlok. Bahkan sejak dua bulan ini tak mendapat upah atau gaji.
“Kesejahteraan ini dikhawatirkan akan menganggu kerja jurnalistik para jurnalis. Sehingga akan memperngaruhi kualitas karya jurnalistik yang dihasilkan. Selain itu, rawan melakukan malapraktik atau melanggar kode etik jurnalistik (KEJ),” ungkap Zainul Arifin, Sekretaris AJI Malang.
Atas potret kondisi kesejahteraan dan kemerdekaan pers di Malang, AJI Malang menyampaikan sikap: 1. Menuntut perusahaan pers memberikan upah layak bagi jurnalis; 2. Meminta perusahaan pers dan jurnalis meningkatkan profesionalisme; 3. Meminta Dinas Ketenagakerjaan melakukan kerja pengawasan hubungan industrial di perusahaan perusahaan pers; 4. Mendorong jurnalis mendirikan serikat pekerja pers; 5. Mengajak semua pihak bekerjasama memperjuangkan kemerdekaan pers; 6. Mengajak semua pihak menyelesaikan kasus sengketa pemberitaan sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers. (rhd)