Kota Malang, SERU – Berlanjutnya masa kepemimpinan Jokowi jilid II, tentunya menyisakan catatan tersendiri di periode sebelumnya untuk segera dievaluasi. Harapannya, di periode selanjutnya tidak terjadi kesalahan yang sama, agar pemerintahan mampu untuk lebih baik lagi.
Pun dampak strategi politik identitas dalam kontestasi elektoral beberapa masih mencuat, meski kontestasi telah usai. Sayangnya, cenderung berkembang ke arah destruktif yang menyebabkan keretakan relasi sosial masyarakat.
“Seharusnya kontestasi dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih modern. Mengingat Indonesia adalah negara mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah negara multikultur, Indonesia menjadi salah satu sorotan dalam percaturan politik dunia,” ungkap Budayawan, M. Sobary, dalam Seminar Nasional bertemakan “Prospek Pembangunan Sosial Politik Indonesia Di Era Jokowi Jilid II”, di Dome Theatre UMM, Rabu (18/12/2019).
Menurutnya, sejumlah isu pluralisme, politik identitas, dan lainnya yang terkait SARA, tak hanya menyasar pada kaum milenial sebagai target suara. Namun hampir semua level usia dan kalangan terpapar. “Dari sisi nasionalisme ini sangat tidak bagus. Meski sebagian pihak mengaku nasionalis, sementara yang bukan golongannya dianggap radikal. Ini menjadi tugas Jokowi untuk mengembalikan persatuan bangsa, demi menjaga kerukunan dan perdamaian,” tandas Sobary.
Menyadari beberapa dinamika persoalan di atas, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang (FISIP UMM) mencoba mengulik kondisi bangsa dan negara Indonesia melalui Seminar Nasional ini. “Semnas ini sebagai salah satu wujud sikap peduli dan kontribusi kampus terhadap dinamika sosial politik di tanah air. Terutama terkait pembangunan sosial politik, pasca kontestasi elektoral di Indonesia,” seru Dr Rinikso Kartono, MSi, Dekan FISIP UMM.
Di sisi lain, lanjut Rinikso, sistem Pemilu langsung dan serentak menimbulkan tingginya biaya Pemilu. Tak hanya pemerintah, namun juga bagi kandidat yang terlibat. Tentunya, hanya orang-orang dan atau dari kelompok tertentu yang berani maju.
“Pastinya biayanya mencapai milyaran rupiah. Tentunya, orang tersebut akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengembalikan balas budi yang diterima dari pihak lain. Sehingga, jika salah langkah, maka jeruji besi menantinya,” ungkap Rinikso, mencontohkan Pilkada yang dimenangkan Edy Rumpoko, konon menghabiskan dana Rp 53 Milyar.
Sikap cuek atas Pemilu menimbulkan tingginya angka Golput. Sehingga ketika terpilih pemimpin dari calon yang ada, bisa jadi bukanlah pemimpin yang baik. Selain faktor budgeting mempengaruhi maju tidaknya calon pemimpin berkualitas. “Ketika angka golput 35 persen, dimana aturan menang 50 persen + 1 dengan 2 calon saja. Maka sebenarnya pemenangnya hanya menguasai 33 persen suara. Maka wajar kepemimpinan kita kurang berkualitas,” bebernya.
Seminar Nasional yang diikuti sekitar 500 peserta dari berbagai elemen masyarakat ini, menghadirkan sejumlah tokoh nasional dan pakar di bidangnya. Di antaranya adalah Peneliti Senior CSIS, Prof J Kristiadi; Budayawan M Sobary; Pakar Sosiologi FISIP UMM, Dr Vina Salviana DS, MSi; Pakar Gerakan Kesejahteraan Sosial FISIP UMM, Dr Oman Sukmana, MSi; Pakar Implantasi Budaya Nusantara FISIP UMM, Dr Wahyudi, MSi; Pakar Komunikasi Tradisional FISIP UMM, Muslimin Machmud, PhD; Pakar Komunikasi Politik FISIP UMM, Budi Suprapto, PhD; dan Pakar Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial FISIP UMM, Dr Fauzik Lendriyono. (rhd)