Menjadi Vegan Ditengah Masyarakat Indonesia

Menjadi Vegan Ditengah Masyarakat Indonesia
Menjadi Vegan Ditengah Masyarakat Indonesia.
Fefia Arraswati
Ilmu Komunikasi – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

“My food is grown, not born.” atau dalam Bahasa Indonesia yang artinya “makanan ku adalah yang tumbuh, bukan yang terlahir.” menjadi prisip bagi seorang vegan. Gaya hidup vegan sudah tidak asing lagi bagi kalangan milenial, banyak dari mereka yang telah mengadopsi gaya hidup vegan. Bukan hanya menuai perdebatan, gaya hidup vegan ini rupanya mendapat kecaman dan tantangan tersendiri di tengah masyarakat Indonesia. Karena dinilai berbanding terbalik dengan kebudayaan serta kepercayaan yang ada pada suku, ras, dan agama di Indonesia. Vegan artinya tidak mengonsumsi atau menggunakan sesuatu yang berasal/mengandung unsur hewani maupun turunannya. Bukan hanya pada makanan, melainkan pada setiap hal kecil dan mendetail. Contohnya barang-barang yang digunakan setiap hari seperti make up, baju, sepatu, tas, bahkan pada bantal tidur.

Salah satu alasan utama seseorang memutuskan untuk mengikuti gaya hidup vegan adalah kesehatan. Orang awam biasanya akan menilai bahwa mengonsumsi makanan nabati akan jauh lebih sehat ketimbang makanan yang berasal dari hewan maupun turunannya seperti susu dan telur. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar, beberapa dari mereka yang mengikuti gaya hidup vegan hanya ingin terlihat keren dan eksis di media sosial. Peran publik figur adalah faktor pendorong paling kuat sebagai jembatan milenial mengenal gaya hidup vegan, mereka cenderung mencontoh perilaku, gaya, dan mode yang ada pada idola mereka. 

Bacaan Lainnya

Menjadi seorang vegan di tengah kebudayaan dan kepercayaan masyarakat yang berbeda memang memiliki tantangan tersendiri. Anggapan bahwa vegan merupakan hal yang aneh, bodoh, dan munafik bermunculan di tengah masyarakat. Stigma buruk itu tidak dapat di cegah oleh mereka (vegan), apalagi ditengah budaya kuliner nusantara yang sangat kaya. Reputasi vegan juga dinilai buruk karena mereka  dianggap mengancam budaya, ciri khas, serta citra rasa yang ada pada kuliner di Indonesia, yang tentu menggunakan sumber hewani pada hidangan masakannya. Berbeda pandangan dengan vegan yang beranggapan bahwa mengonsumsi makanan yang mengandung unsur hewani adalah hal yang menjijikan dan kejam.

“Astaga orang itu memakan hewan mati!” begitulah isi pikiran seorang vegan apabila melihat orang yang sedang melahap ayam pedas di sebuah restoran cepat saji. Mereka meyakini sepenuhnya bahwa hewan adalah bukan sesuatu untuk dikonsumsi. Selain itu mereka vegan juga percaya dengan prinsip “we’re all are animals” bahwasanya hewan merupakan salah satu dari kita, serta memiliki alasan untuk hidup. Alasan lain bagi seorang vegan untuk tidak mengonsumsi sumber hewani adalah ingin menghentikan ‘penyiksaan’ terhadap hewan, mereka meyakini bahwa ‘hewan ada di bumi bersama kita, bukan untuk kita.’. Oleh karena itu peternakan serta pembunuhan yang dilakukan pada hewan bagi mereka adalah suatu kekejaman.

Selain harus bertahan di tengah perbedaan pandangan yang bersebrangan dengan mayoritas masyarakat, vegan juga harus dapat beradaptasi dengan lingkungan di sekitar mereka. Kebanyakan vegan akan memasak dan mengolah sendiri makanan yang akan mereka konsumsi. Restauran vegetarian belum banyak dijumpai pada tiap kota, hal ini tentu menyulitkan vegan untuk dapat makan di luar rumah. Mereka harus pintar memilah makanan dengan detail, memastikan bahwa makanan yang akan dikonsumsi tidak mengandung unsur hewani. Berbeda halnya di negara barat, supermarket telah melabeli serta menyediakan makanan untuk vegan. Di Indonesia hal tersebut masih sangat terbatas, jadilah mereka (vegan) akan menghabiskan waktu yang lama di supermarket saat berbelanja, hanya untuk memastikan label makanan yang mereka beli tidak mengandung unsur hewani.

Menjadi seorang vegan tentu akan memiliki tantangan tersendiri, apalagi ditengah masyarakat yang masih awam dengan istilah vegan. Stigma yang negatif juga bisa menjadi ujian kesabaran bagi orang yang berpegang teguh pada gaya hidup vegan. Kesimpulannya untuk menjadi vegan ditengah masyarakat Indonesia tidak mudah, perlu kemampuan adaptasi dan open minded karena memiliki prinsip yang bersebrangan dengan mayoritas orang. Dari segi alasan tidak ada yang salah dari gaya hidup vegan ini, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda dan pola pikir yang berbeda pula. Sehingga asalkan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kita dapat bebas menentukan gaya hidup seperti apa yang ingin dilakukan dalam keseharian kita.

Pos terkait