Malang, SERU.co.id – Data kemiskinan di Jawa Timur ternyata masih belum sepenuhnya valid, lantaran data yang dilaporkan tidak sesuai dengan realita di lapangan. Patut diduga angka kemiskinan sebenarnya lebih tinggi dan masuk kategori kemiskinan ekstrim lantaran jauh dari standar. Hingga pandemi disebut sebagai tumbal kondisi yang turut memunculkan kemiskinan ekstrim baru.
Temuan mengejutkan ini diperoleh tim Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) Malang. Ketika tim ini Survey Konsolidasi Data menangani data kemiskinan ekstrim desa bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) di Jawa Timur. Yakni di Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Probolinggo, dan Bangkalan pada Desember 2021.
“Kemendesa PDTT berkepentingan untuk menangani kasus kemiskinan ekstrim di Indonesia. Selama ini, data kemiskinan baru setelah pandemi harus dikroscek kembali pada grassroot di desa. Data riset ini sebagai strategi berbasis penanggulangan berbasis satu nama satu alamat, atau by name by address,” seru Ketua Tim Peneliti Survei, Dr M Lukman Hakim, SIP, MSi, kepada SERU.co.id, Kamis (30/12/2021).
Mengutip pernyataan Kepala Pusat Data dan Informasi Pembangunan Desa, Mendesa PDTT, Dr Ivanovich Agusta. Ahli Kebijakan Sosial FISIP UB ini mengatakan, kemiskinan ekstrim di Indonesia harus diiringi strategi penanganan dengan berbasis pada data yang kuat. Pasalnya, berdasar data itu, Kemendesa PDTT memiliki program sensus data yang dapat menyasar seluruh warga, sehingga tidak ada yang terlewat satupun (no one left behind).
“Banyak Kepala Desa yang mengeluhkan data tidak akurat dalam tiap pemberian bantuan pengentasan kemiskinan. Data riset ini dapat diacu Kemendesa PDTT, agar program pengentasan kemiskinan dapat diukur secara valid dan tepat sasaran,” beber Lukman, sapaannya.
Kepala Program Studi S3 Sosiologi FISIP UB ini menyatakan, beragam stimulus dan bantuan pemerintah pada masyarakat selama pandemi belum mampu mengentaskan kemiskinan. Bahkan, pandemi disebut sebagai kondisi yang turut memunculkan kemiskinan ekstrim baru.
Tim peneliti ini beranggotakan: Dr M Lukman Hakim, SIP, MSi, Dr Indah Dwi Qurbani, SH, MH,
Habibi Subandi, SIP, MA dan Abdul Wahid, MA.
Senada, melihat data kemiskinan ekstrim ini, anggota tim peneliti, Habibi Subandi, SIP, MA mengatakan, penetapan angka penerima manfaat kemiskinan ekstrem terlihat timpang, jika dilihat dari persebaran penduduk di masing-masing wilayah. Bahkan data yang dilaporkan tersebut disinyalir merupakan sampel acak 10 persen dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Ahli Politik FISIP UB ini menyebutkan, ketimpangan ini dari kebijakan penentuan kemiskinan ekstrem yang hanya diambil dari 5 kecamatan dan masing-masing 5 desa per kecamatan. Total keseluruhan jumlah desa yang ditetapkan adalah 25 desa per Kabupaten.
“Berdasarkan jumlah tersebut, jumlah penduduk miskin ekstrem di tiap kabupaten bisa lebih banyak dari data yang tertera pada SK Bupati. Hal ini juga dibarengi dengan batas kemiskinan dari Pemerintah Daerah dan Pusat yang punya rujukan berbeda,” papar Habibi, sapaan akrabnya.
Survei ini dilakukan pada 1-10 Desember 2021 dengan cara verifikasi data pada Kepala Desa bersama perangkat di Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Probolinggo, dan Bangkalan. Hasil verifikasi data diikuti dengan kunjungan pada penduduk miskin yang tinggal di desa lokasi survei.
“Data kemiskinan ekstrim mengacu pada SK Bupati Bojonegoro, Lamongan, Proolinggo, dan Bangkalan tentang data penduduk miskin ekstrim 2021. Ukuran kemiskinan ekstrim dilihat dari pendapatan per keluarga di bawah standar paritas daya beli, yakni US$ 1,9 per hari atau Rp27.303 dengan kurs rata-rata satu dolar senilai Rp14.300,” ulas Habibi.
Menurut peneliti lain, Abdul Wahid, usaha keras pemerintah mengentaskan kemiskinan ektrim dihadapkan beberapa masalah, seperti data overlap dari pusat, daerah, dan desa sendiri. Data ini menjadi penting sebagai acuan dasar bantuan, program pemberdayaan, dan sekaligus evaluasi keberhasilannya.
“Bantuan langsung pada masyarakat miskin ekstrim harus diimbangi dengan program pemberdayaan secara jangka panjang,” ungkap peneliti senior di Centre for Policy Studies and Data Analysis (CYDA) ini.
Program pengentasan kemiskinan dengan menempatkan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan tidaklah cukup. Namun harus mulai digeser pada perspektif pemberdayaan, sehingga progress pengentasan kemiskinan dapat lebih cepat.
Sementara, standar kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota memiliki perbedaan yang disebabkan oleh lokalitas masyarakat setempat. Lokalitas masyarakat setempat ini meliputi beberapa variabel, seperti adanya budaya malu, budaya gengsi, standar upah harian buruh dan petani di masing-masing daerah. Hingga ketersediaan dan kelayakan infrastuktur yang mendukung pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia.
“Ukuran paling jitu untuk menetapkan standar kemiskinan ekstrim adalah standar atau penilaian dari pemerintah desa. Mereka memiliki informasi tentang penduduk miskin di desanya, perubahan data penduduk yang disebabkan oleh kematian dan migrasi, serta peningkatan ekonomi yang disebabkan oleh pembangunan lokal tertentu,” jelasnya.
Meski standar kemiskinan ekstrim pemerintah desa paling akurat dan aktual, dalam penerapannya unsur obyektifitas dari kepala desa dan aparatur desa juga masih sangat kuat. Sehingga ukuran kemiskinan ekstrim perlu disosialisasikan pada pemerintah desa dan perlu dilakukan pengawasan silang oleh pihak lain. Seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) atau pihak lain yang bisa terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa.

Berdasarkan paparan di atas, tim peneliti merekomendasikan hasil survei. Di antaranya:
– Seirama dengan penyataan Mendesa PDTT tentang urgensi validitas data dalam pembangunan desa. Kemendesa PDTT sangat instrumentalis dalam upaya konsolidasi data tunggal kemiskinan dan kemiskinan ekstrem yang vocal point penananganannya multi-kementerian/lembaga.
– Basis data kemiskinan ekstrem yang disusun oleh Pemerintah Daerah belum mengakomodasi ketentuan hukum yang bersumber dari Kemendes PDTT. Sehingga perlu kebijakan khusus tambahan yang didukung instrument sistem Kemendes PDTT hingga struktur terbawah, agar verifikasi serta validasi data (verivali) lebih efektif.
– Survei ini mengkonfirmasi gagasan/kebijakan Mendes PDTT terkait pendekatan verivali (verifikasi dan validasi) yang dilakukan dengan pendekatan mikro. Yaitu bottom up, berbasis pada kebutuhan dan kondisi faktual masyarakat di bawah, tidak semata kepentingan elit desa. Hal ini perlu disokong kebijakan yang kuat dan sinkron dengan instrument penyusunan data yang telah ada.
(rhd)
Baca juga:
- Pemkot Malang Tak Kuasa Hadapi Alih Fungsi Lahan Pertanian Terdesak Perumahan
- Polres Batu Aksi Pasang Stiker Call Center 110 Di Lokasi Strategis Demi Pelayanan Cepat
- Polisi Dalami Motif Pengeroyokan Pelajar SMKN 4 Malang Diduga Kesalahpahaman
- Seorang Lansia di Tumpang Tewas Terbakar di Dalam Rumahnya
- Gaji ke-13 untuk ASN dan Pensiunan Cair Mulai 2 Juni 2025