‘Bukan Kebutuhan’ Penyebab Minat Baca Menurun

Ilustrasi mahasiswa sedang membaca buku. (ist) - 'Bukan Kebutuhan' Penyebab Minat Baca Menurun
Ilustrasi mahasiswa sedang membaca buku. (ist)

Malang, SERU.co.id – Membaca merupakan jendela dunia. Namun masih hanya sebatas slogan semata baik di kalangan masyarakat dan mahasiswa. Ditambah perkembangan era digitalisasi membuat dengan mudah informasi didapat menjadi lebih cepat.

Salah satu pegiat literasi sekaligus penjual buku, Hendro Prasetyo menilai, penurunan minat baca diperkirakan sejak 2016 silam. Dilihat dari per angkatan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), karena lapak dagangannya tak jauh dari kampus.

Bacaan Lainnya

“Secara gradual menurun, nah cuma dari segi umum. Masyarakat Indonesia masih belum menganggap buku sebagai kebutuhan primer, bahkan sekunder saja belum. Kira-kira masih tersier, atau mungkin diluar tiga istilah itu,” seru Hendro Prasetyo, ditemui di lapaknya yang berada di Jalan Raya Tlogo Mas No 18 Kelurahan Tlogomas Lowokwaru.

Dirinya sering diwawancara ataupun dalam seminar perihal minat baca, hingga pembelian buku. Secara statistik memang tidak mempunyai data konkret ilmiah tentang peningkatan maupun penurunan daya baca masyarakat, dalam hal ini mahasiswa.

Hendro melanjutkan, perbedaan di negara berkembang di Indonesia berbeda negara berkembang di luar negeri, misalnya Amerika Latin yang juga negara berkembang. Disana, pemerintah memperhatikan serta mensupport industri atau produsen perbukuan, meskipun tidak total tetapi nyata.

Selain itu, dia mencontohkan di ruang-ruang publik dimanfaatkan tidak hanya untuk iklan kendaraan, elektronik. Tetapi ruang publik entah melalui pamflet, LED Videotron, dan sebagainya menampilkan sebuah buku teranyarnya.

“Oh ini buku sastra terbaru karyanya, misalkan Gabriel Garcia Marquez, atau Mario Vargas Llosa. Oh ini karya penulis dalam negeri itu ditampilkan,” imbuhnya.

Menurutnya, kejadian berbanding terbalik di Indonesia, seperti absurd pemerintah membuat ‘Duta Baca’ tetapi tidak konkret untuk langsung menyentuh kalangan masyarakat. Menyitir soal perbukuan tahun 2017 yang sudah diketok palu Jokowi, bahwasannya harus menyediakan buku bacaan oleh Pemerintah Daerah dan menyediakan bacaan yang berkualitas.

Hendro mengaku, sering mengisi literasi dan ekonomi politik perbukuan. Pada intinya, pemberangusan di pedagang, di grup pedagang buku, ia tidak jarang memberikan edukasi dengan Undang-undang Keterbukaan Pers yang diketok palu BJ Habibie tahun 1998 sampai UU perbukuan 2017.

“Jadi saya edukasi bakul-bakul se-Indonesia. Tapi kembali lagi sulit, bajakan masih ada. Padahal kita sadar bajakan tidak boleh. Cuma akhirnya penerbit-penerbit pasrah dengan keadaan. Musik saja dibajak, apalagi buku yang belum menjadi kebutuhan,” ujarnya.

Salah satu Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ja’far Mubarok mengaku, dalam hal membaca lebih tertarik jika menjadi kesukaan genre pribadi. Ketika dalam hal mata kuliah, hanya sebatas penggugur kewajiban.

Terkait era digital maraknya e-book, Ja’far yang kerap disapa Apay menjelaskan, efektifitas atau tidaknya melalui media elektronik bagi setiap orang tentu berbeda. Hal tersebut beralasan, karena adanya e-book mempermudah untuk mendapatkan buku yang diinginkan.

Akan tetapi, buku yang bisa diakses menggunakan gawai dengan mudah harus diperhatikan juga. Terletak bukan hanya dari sisi pembaca, tetapi juga dari sisi penulis bisa diuntungkan atau malah dirugikan.

“Apakah e-book yang tersebar ini legal atau bajakan, apakah royalti yang didapatkan ini sampai kepada penulis atau tidak. Yang disayangkan adalah ketika e-book yang bajakan lebih banyak daripada versi resminya. Sehingga menurut saya, harus ada penanganan khusus,” ungkap mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional ini. (jaz/rhd)


Baca juga:

disclaimer

Pos terkait