Malang, SERU.co.id – Kondisi sektor pertanian yang semakin menurun, tak hanya disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan pertanian. Namun dipengaruhi oleh laju pertumbuhan sektor lain, seperti industri, jasa dan perdagangan, yang cenderung lebih cepat.
Akibat minimnya lahan, juga berimbas kepada transformasi tenaga kerja ke sektor lain. Orang yang bekerja di sektor pertanian memang tidak punya pilihan untuk bekerja di sektor lain. Dimana upahnya atau keuntungannya lebih baik.
“Jika tidak diikuti oleh transformasi tenaga kerja yang berpindah dari sektor pertanian, maka akan berpotensi meningkatnya ketimpangan dan marginalisasi sektor pertanian itu sendiri,” ungkap Wakil Dekan I Fakultas Pertanian UB, Dr Sujarwo, SP, MP.
Dalam perspektif mikro, tenaga kerja di sektor pertanian pada umumnya rerata usianya makin tua. Regenerasi petani terhambat, karena pandangan sektor pertanian bukanlah sektor yang menguntungkan. Stereotif ini kemudian menjadikan sektor pertanian semakin ditinggalkan dan menjadi inferior.
Realitas lainnya, problem produksi dan pasar di sektor pertanian tidak kunjung terbenahi, sehingga saat panen harga seringkali jatuh dan merugikan petani. Meski sebenarnya berpotensi profit, jika manajemen pengelolaanya benar dan profesional. Disisi lain, edukasi kepada generasi muda akan potensi sektor pertanian menjadi lebih baik, jika responsif terhadap perubahan teknologi dan pasar.
Kedua aspek ini, jika dikelola dengan baik dan selaras, maka sektor pertanian berpotensi mendonamisasi perekonomian secara makro. Adanya linkage yang baik antara konsumsi, produksi, investasi, teknologi, kelompok tani dan pemerintah melalui sektor pertanian.
“Jika keterkaitan ini terbina dengan baik, maka pertumbuhan makro kita akan semakin kokoh. Karena bertumpu pada endowment factor yang dimiliki bangsa ini,” imbuh Sujarwo.
Salah satu contohnya program urban farming dengan konsep tanaman hidroponik, telah menempatkan diri sebagai produk premium yang memiliki pangsa pasar kalangan tersendiri. Tidak bisa dimasukkan dalam pasar tradisional pada umumnya.
“Umumnya masih terbatas oleh lahan, memanfaatkan kawasan perkotaan dan pinggiran. Jika lahannya lebih luas, misal 100 hektar, dengan pengelolaan inputnya bersama-sama, pemasarannya juga bersama-sama oleh kelompok petani. Harapannya bisa mereduksi biaya dan meningkatkan panen. Sehingga harga dan keuntungan yang diterima bisa lebih tinggi, serta potensi sektor pertanian lebih terangkat,” beber Jarwo.
Selain itu, dengan pemanfaatan teknologi, berpotensi menciptakan produk-produk turunan dari produk-produk primer yang dihasilkan. Misalnya, bawang merah dijual dalam bentuk segar, ada yang sudah diolah menjadi home industri, dan lainnya.
“Ketika ada poktan yang berhasil, maka itu akan menjadi triger untuk yang lain. Sehingga merubah mindsetnya terhadap sektor pertanian,” ucapnya.
Dirinya sempat memiliki pengalaman pribadi. Dimana saat menjadi mahasiswa semester dua, mencoba mengaplikasikan ilmunya di rumah. Bawang merahnya bisa 4-5 kali panen. Sehingga menarik perhatian tetangganya dan bertanya menggunakan obat apa.
“Padahal sebenarnya itu tidak hanya menyangkut obatnya itu tadi, tapi menyangkut pengelolaan dari pertanian itu sendiri. Artinya ketika ada triger keberhasilan itu harus disampaikan,” tandasnya. (rhd)