Jakarta, SERU.co.id – Seruan ‘pangkas dan alihkan’ anggaran sekolah ikatan dinas dari DPR, pegiat pendidikan dan Ormas kini bergema sebagai tuntutan keadilan pendidikan nasional. Di satu sisi, 13 ribu peserta didik sekolah kedinasan mendapatkan anggaran Rp104,5 triliun per tahun. Sementara di sisi lain, 62 juta siswa dari SD-Kuliah harus berebut Rp91,2 triliun anggaran.
Anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng menilai, anggaran sekolah kedinasan mencapai Rp104,5 triliun per tahun terlalu besar dan tidak adil. Pasalnya, dana itu hanya dinikmati sekitar 13 ribu peserta didik. Sementara pendidikan formal untuk 62 juta siswa dari SD-Kuliah hanya mendapatkan Rp91,2 triliun.
“Pendidikan dasar sampai menengah itu Rp33,5 triliun, pendidikan tinggi Rp57,7 triliun. Totalnya Rp91,2 triliun untuk 62 juta siswa. Sementara pendidikan kedinasan Rp104,5 triliun hanya untuk 13 ribu orang. Ini pendidikan tidak berkeadilan,” seru Mekeng dihadapan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Mekeng menambahkan, alokasi anggaran pendidikan dari APBN juga terus meningkat. Dari Rp542,82 triliun pada 2020 menjadi Rp724,2 triliun pada 2025. Namun, peningkatan ini dinilai tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena distribusi anggaran yang timpang.
“Yang pendidikan kedinasan dikecilin aja dulu. Kasih yang formal supaya tahun 2035–2045 kita bisa mencapai Indonesia emas. Bukan Indonesia cemas,” tegas politisi senior Partai Golkar itu.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, mendukung penuh usulan Mekeng. Menurutnya, sekolah kedinasan justru menyedot dana pendidikan yang seharusnya diperuntukkan bagi sektor pendidikan dasar.
“Dana 20 persen APBN untuk pendidikan seharusnya fokus meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dasar. Kalau kementerian punya dana internal, silakan alokasikan dan tersebut. Tentunya tanpa mengganggu jatah pendidikan dasar masyarakat,” tambahnya.
Senada, Ketua DPP PDIP, Maria Yohana Esti Wijayati menilai, pemerintah belum tepat dalam mengalokasikan mandatory spending pendidikan 20 persen APBN. Esti juga menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang memakai Rp71 triliun dari anggaran pendidikan.
“Mestinya itu tidak boleh dimasukkan di dalam anggaran pendidikan,” tegas Esti.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU), KH Z Arifin Junaidi mengungkapkan, ketimpangan mencolok antara dana BOSP untuk sekolah formal dengan dana sekolah kedinasan.
“BOSP SD per siswa hanya Rp940 ribu, SMP Rp1,1 juta dan SMA/SMK Rp1,5 juta per tahun. Bandingkan dengan sekolah kedinasan yang bisa mencapai Rp8 miliar per mahasiswa per tahun,” ungkapnya.
Arifin menyebut, banyak sekolah swasta kekurangan dana. Bahkan orang tua terpaksa berutang demi biaya pendidikan.
“Setiap tahun ajaran baru, para orang tua terjerat pinjaman online. Ini fenomena darurat karena negara belum benar-benar hadir,” tegasnya.
Terakhir, Mekeng menegaskan, pemangkasan dana pendidikan kedinasan sejalan dengan PP Nomor 18 Tahun 2022, Pasal 80 ayat (2). Dimana melarang anggaran kedinasan menggunakan porsi pendidikan dari APBN. (aan/mzm)