Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi Persada Hospital, dr Galih Endradita SpFM FISQua mengungkapkan, dokter bersangkutan sudah enam tahun bekerja. Sebelum tahun 2019, dokter terduga pelaku pelecehan itu belum bekerja di Persada Hospital.
“Selama beliau bekerja di Persada Hospital, masih tampak wajar perilakunya. Tidak menunjukkan perilaku yang mengarah pada pelanggaran kode etik,” seru Galih, dalam konferensi pers yang digelar, Jumat (17/4/2025).
Galih menuturkan, sampai saat ini pengaduan dari terduga korban pelecehan belum masuk ke rumah sakit. Pihaknya baru mengetahui informasi yang beredar dari pemberitaan media massa.
“Sebelumnya juga tidak ada komplain terkait pelayanan yang diberikan beliau kepada pasien. Kami tidak mengetahui bagaimana perilaku dokter tersebut sebelum bekerja di tempat kami,” ujarnya.
Alumni FK Universitas Airlangga itu menuturkan, investigasi internal Persada Hospital masih berlangsung. Pihaknya turut menghormati proses hukum oleh pihak berwenang terhadap salah satu tenaga medis di tempatnya.
“Kami sangat prihatin dan menyayangkan adanya tuduhan tersebut. Kami menegaskan, Persada Hospital menolak pelanggaran etika dalam bentuk apapun,” kata Galih.
Lebih lanjut, Galih mengakui keterbatasan data terkait dugaan kasus pelecehan seksual di tempatnya. Hal itu, dikarenakan nihilnya rekaman CCTV di lokasi, keterbatasan sistem pengawasan di ruang rawat inap, serta durasi penyimpanan data rekaman.
“Ketentuan mengenai CCTV tidak boleh memantau pelayanan yang dilakukan oleh dokter. Di ruang rawat inap, juga tidak ada CCTV demi menjaga privasi pasien,” bebernya.
Dokter Spesialis Forensik Medikolegal itu menjelaskan, CCTV hanya memantau area publik. Selain itu, CCTV dipasang di area yang memungkinkan terjadi ketegangan antara keluarga pasien dengan petugas medis, seperti di UGD.
Berkaca dari kasus ini, Galih meminta masyarakat untuk segera membuat pengaduan, apabila mengalami hal tidak menyenangkan. Menurutnya, ini penting dilakukan bukan hanya di Persada Hospital, tapi di semua rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan.
“Karena kepuasan pelayanan rumah sakit menjadi indikator nasional untuk rumah sakit di Indonesia. Jadi itu selalu dipantau oleh Kementerian Kesehatan,” ucapnya.
Terakhir, Galih menuturkan, pihaknya sudah berupaya maksimal dalam menjaring tenaga medis. Sebelum menerima tenaga medis, dilakukan tes wawancara dan psikotes terhadap calon tenaga medis.
Sementara itu, Kemenkes telah menyoroti kasus pelecehan yang belakangan terjadi di beberapa tempat. Wamenkes RI, Dante Saksono Harbuwono menyatakan, pentingnya penjaringan psikologis berbasis MMPI bagi tenaga medis.
“Akan ada proses penjaringan psikologis yang disebut sebagai Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dari hasilnya akan diketahui apakah mengalami atau mempunyai gangguan psikologis atau tidak,” tegasnya.
Dante menuturkan, sebelumnya belum pernah memberlakukan penjaringan psikologis MMPI. Meski demikian, penjaringan psikologis tersebut dinilai perlu dilakukan sebagai upaya antisipasi terjadinya kasus serupa.
Adapun terduga korban pelecehan seksual, QAR kini telah mendapatkan pendampingan dari kuasa hukumnya. Ia membeberkan perilaku sang dokter yang tidak wajar hingga puncaknya saat pemeriksaan, ia diminta melepas baju pasien dan curiga sang dokter merekam dirinya.
Dalam postingan Instagram, QAR memaparkan sejumlah kejanggalan terkait perilaku sang dokter hingga kronologi peristiwa. Postingan itu pun mendapat komentar dari netizen lain, yang mengaku mengalami hal serupa.
“Kak mau tanya, ini dokternya biasa di IGD ga yah? Aku soalnya dulu pernah ngerasain kejadian ganjil, persis kayak yang kakak alami tapi di ruang IGD. Mana kapan itu periksanya sendirian, mau marah tapi mikir apa ini produsernya dokter yah,” tulis komentar akun @tikaash. (ws13/rhd)