Washington DC, SERU.co.id – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengguncang kebijakan perdagangan global dengan mengumumkan penerapan tarif timbal balik. Kebijakan ini pun langsung memicu reaksi keras dari berbagai negara, termasuk China, Uni Eropa, hingga Kanada. Trump menyebut kebijakan ini sebagai hari pembebasan setelah Amerika Serikat telah lama dieksploitasi di perdagangan internasional.
Trump menyebut hari penerapan kebijakan ini sebagai ‘Hari Pembebasan’. Ia menegaskan, AS telah lama dieksploitasi dalam perdagangan internasional.
“Dalam banyak kasus, kawan lebih buruk daripada lawan dalam hal perdagangan. Selama beberapa dekade, AS telah dijarah, dirampok, diperkosa oleh negara-negara mitra dagangnya,” seru Trump.
Trump menetapkan tarif impor signifikan, dengan China dikenai 34 persen, Uni Eropa 20 persen, Jepang 24 persen dan India 26 persen. Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dikenai tarif 46 persen, sementara Thailand, Indonesia, Malaysia, Kamboja dan Myanmar menghadapi tarif antara 24 hingga 49 persen. Bahkan, Kepulauan Heard dan McDonald yang tak berpenghuni pun dikenai tarif 10 persen.
Trump mengklaim, tarif ini hanya separuh dari tarif yang dikenakan negara-negara tersebut terhadap ekspor AS. Selain itu, ia juga menerapkan tarif universal 10 persen, yang berlaku untuk hampir seluruh mitra dagang, termasuk Singapura dan Inggris.
Tak butuh waktu lama, Perdana Menteri Kanada, Mark Carney mengumumkan, langkah balasan terhadap kebijakan Trump. Kanada disebut tengah mempertimbangkan tarif balasan pada produk-produk utama AS, terutama di sektor otomotif
“Dalam sebuah krisis, penting untuk bersatu dan bertindak dengan tujuan serta kekuatan,” ujarnya.
Ekonom senior, Wijayanto Samirin, mantan Penasihat Wapres RI bidang ekonomi (2014-2019) menilai, kebijakan tarif timbal balik ini adalah strategi Trump untuk menyelamatkan fiskal AS. Meskipun berpotensi menghancurkan ekonomi global.
Menurutnya, langkah ini bisa memicu perlambatan ekonomi dunia, memaksa lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD untuk merevisi proyeksi pertumbuhan global. Investor diperkirakan akan beralih ke aset yang lebih stabil seperti emas dan obligasi pemerintah, sementara pasar saham global berpotensi mengalami volatilitas tinggi.
“Indonesia juga tidak luput dari dampaknya, target pertumbuhan ekonomi 5 persen akan semakin sulit dicapai. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah berisiko tertekan. Terutama bagi sektor-sektor ekspor seperti tekstil, produk karet dan elektronik,” tambahnya.
Dampak sosial pun mengkhawatirkan. Dengan meningkatnya tarif AS terhadap produk industri padat karya seperti sepatu dan tekstil, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia bisa melonjak. Sementara itu, upaya pemerintah untuk refinancing utang sebesar Rp800 triliun dan pembiayaan utang baru senilai Rp700 triliun akan semakin menantang. (aan/mzm)