Jakarta, SERU.co.id – Kamis (20/8/2020) menjadi momentum dalam penanggalan. Dimana pada penanggalan Islam, 1 Muharam 1442 H diperingati umat Islam sebagai Tahun Baru 1442 Hijriah. Sementara dalam penanggalan masyarakat Jawa, tanggal 1 Muharam 1442 disebut juga dengan 1 Suro 1954.
Keduanya pun menjadi momentum yang berbeda berdasarkan keyakinan masing-masing dengan penyebutan yang berbeda pula. Hingga muncullah fakta dan mitos terkait penanggalan Muharam dan Suro.
Disisi keyakinan umat Islam, Muharam diyakini pada malam tersebut banyak kemuliaan dilimpahkan. Bahkan umat Islam memiliki beberapa amalan yang dilakukan pada malam 1 Muharam ini.
Mulai bakda salat magrib dan sebelum masuk waktu salat Isya, umat Islam dianjurkan membaca Surah Yasin sebanyak tiga kali. Tiap selesai membaca satu kali Surah Yasin, ada doa yang dibaca. Kemudian, disambung dengan membaca doa awal tahun.
Terkait hal ini, Buya Yahya menghimbau agar berhati-hati, karena dalam mengerjakan ibadah sunah harus dipastikan sumber hadits yang shahih. Sebab penentuan awal dan akhir tahun kalender Hijriah baru diputuskan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, bukan dari zaman Nabi Muhammad SAW.
“Kalau untuk amalan bulan Muharram cukup hadits shahih yang berbunyi, ‘puasa yang paling bagus setelah Ramadhan adalah puasa di Bulan Muharram.’ Ini sudah cukup,” tegas Buya Yahya, dalam salah satu dakwahnya.
Adanya tambahan anjuran seperti membaca ayat kursi atau bacaan lainnya tidak menjadi masalah, asalkan tidak dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi hukumnya hanya anjuran baik, bukanlah sunah karena bukan Nabi Muhammad SAW yang mencontohkan.
“Kalau cuma menganjurkan saja tidak apa-apa, bagus. Asalkan jangan dinisbatkan kepada Nabi. Itu dusta, tidak boleh,” tegasnya.
Umat Islam juga dianjurkan untuk melakukan muhasabah diri atau introspeksi diri pada malam 1 Muharam. Muhasabah diri dimaksudkan untuk mengingatkan umat Islam, pergantian tahun merupakan tanda bahwa waktu telah berganti dan kematian juga semakin dekat.
Sementara itu, dalam budaya Jawa, malam 1 Suro menjadi mitos seramnya malam 1 Suro atau malam sebelum pergantian tahun. Masyarakat Jawa meyakini banyak hal buruk berbau gaib terjadi pada malam tersebut.
Menurut pengajar Sastra Jawa, Prapto Yuwono, anggapan ini merupakan imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Sultan Agung membuat kalender Jawa-Islam dengan membaurkan kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Dikisahkan, Sultan Agung bersedih karena dua kali kekalahannya menyerang Batavia. Ia pun membuat kalender tersebut dengan harapan konsep baru akan membuat kesedihannya hilang. Sultan Agung mencanangkan pada malam pergantian tahun baru itu, masyarakat prihatin dengan menepi dan memohon kepada Tuhan. Dari sinilah konotasi menakutkan tersebut muncul.
Pada malam 1 Suro, masyarakat Jawa percaya ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan karena dianggap bisa mendatangkan sial. Hal tersebut diantaranya adalah menggelar hajatan, pindah rumah, dan keluar rumah.
Masyarakat Jawa juga melakukan ritual memandikan keris pada malam 1 Suro. Menurut sejarawan Asep, memandikan benda pusaka pada malam 1 Suro berarti restrospeksi, yaitu kemunculan kenangan kembali ke permukaan dan kenyataan. Pemilik keris menganggap keris tersebut telah menyatu dengan dirinya, sehingga membersihkan keris dianggap membersihkan diri mereka sendiri. (hma/rhd)