Gelombang Protes Pengemudi Ojol Tuntut Pemberian THR

Wamenaker saat menemui aksi pengemudi Ojol yang menuntut pemberian THR. (ist) - Gelombang Protes Pengemudi Ojol Tuntut Pemberian THR
Wamenaker saat menemui aksi pengemudi Ojol yang menuntut pemberian THR. (ist)

Jakarta, SERU.co.id – Gelombang protes dari pengemudi ojek online (Ojol) mengguncang depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jakarta Selatan. Lima serikat pekerja, tiga konfederasi dan 90 orang komunitas Ojol berkumpul menyuarakan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Wamenaker menegaskan negara tidak akan membiarkan warganya dieksploitasi.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati mengungkapkan, aksi hari ini diikuti lima pekerja serikat, tiga konfederasi dan 90 orang dari komunitas Ojol. Meskipun awalnya akan diikuti 500 sampai 1.000 driver Ojol.

“Banyak kawan-kawan yang takut diputus kemitraannya. Bahkan, ada penyebaran informasi dari orang-orang tertentu untuk melarang kami ikut aksi,” seru Lily, Senin (17/2/2025).

Tuntutan THR ini memantik respons keras dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer. Dalam orasinya di tengah aksi, pria yang akrab disapa Noel ini menegaskan, negara bersifat memaksa. Ia juga mengultimatum agar pengemudi yang mengikuti aksi tidak disanksi.

“Aplikator harus memberikan THR kepada driver Ojol. Negara tidak akan membiarkan warga negaranya dieksploitasi. Mereka tidak meminta gaji langsung, tidak meminta saham, tapi hanya meminta haknya selama di jalanan,” ujarnya.

Namun, tuntutan THR ini memunculkan dilema. Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai, permasalahan ini berakar pada ketidakjelasan regulasi hubungan antara platform dan driver.

“Saat ini regulasi terpencar di berbagai kementerian. Tarif diatur Kementerian Perhubungan, bentuk kemitraan diatur Kementerian UMKM, sementara hubungan kerja dengan driver tidak dijangkau Kemenaker karena sifatnya kemitraan,” jelas Nailul.

Menurut Nailul, sistem kemitraan tidak mengenal konsep THR karena pengemudi dianggap bekerja secara mandiri untuk memperoleh pendapatan. Jika THR dipaksakan, perlu ada formula khusus terkait perhitungan besaran THR, misalnya berdasarkan pendapatan rata-rata atau penghasilan bulan terakhir.

“Beban perusahaan akan sangat berat jika harus memberi THR kepada jutaan mitra. Ini bisa menimbulkan tuntutan serupa dari pelaku kemitraan lain, termasuk pedagang kecil di platform Daring,” tambahnya.

Meski begitu, Nailul menilai ada hal yang lebih mendesak daripada THR, yakni perlindungan sosial bagi driver. Terutama perlindungan kesehatan, keselamatan kerja dan jaminan sosial. Pemerintah dan platform sebaiknya menyediakan skema pembayaran perlindungan bagi driver dengan pembagian beban antara platform, konsumen dan driver. (aan/mzm)

disclaimer

Pos terkait