Mataram, SERU.co.id – Kasus pelecehan seksual dengan tersangka IWAS atau Agus Buntung terus berkembang. Dalam rekonstruksi Polda NTB, Rabu (11/12/2024), IWAS memperagakan 49 adegan di tiga lokasi. Korban pelecehan seksual IWAS juga terus bertambah hingga mencapai 15 orang.
Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat menjelaskan, terdapat dua narasi berbeda terkait kejadian di dalam kamar homestay nomor 6. Menurut versi IWAS, korban yang aktif membuka pakaian dan pintu kamar. Sementara itu, korban bersikukuh tersangka yang dominan di dalam kamar.
Rekonstruksi juga mengungkapkan perbedaan lainnya. IWAS memperagakan pembukaan pintu kamar menggunakan dagu, namun korban menyatakan dia sendiri yang membuka pintu. Fakta ini semakin mengaburkan kejadian sebenarnya di lokasi.
Sebelum tiba di homestay, IWAS dilaporkan mengajak korban berkeliling menggunakan sepeda motor di sekitar Jalan Udayana, Mataram. Hal itu untuk membujuk korban membayar kamar. Modus ini menjadi pola yang ditemukan dalam kasus lain.
Menurut Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, korban pelecehan seksual IWAS terus bertambah hingga mencapai 15 orang. Semua korban adalah perempuan.
“Dua korban baru mengajukan laporan, menambah jumlah total korban menjadi 15,” seru Joko, Selasa (10/12/2024).
Baca juga: Agus Buntung Gunakan Manipulasi Emosional untuk Mendapatkan Korban-Korbannya
Kuasa hukum IWAS, Ainuddin menyampaikan, pembelaan bahwa interaksi di homestay terjadi atas dasar suka sama suka. Bahkan, menurut Ainuddin, korban sempat meminta uang Rp50 ribu kepada IWAS setelah pertemuan di kamar.
“Tidak ada indikasi pemaksaan dalam pertemuan itu,” klaim Ainuddin.
Namun, situasi berubah ketika korban bertemu dua temannya di kawasan Islamic Center. Publik mulai memperhatikan kasus ini setelah foto-foto keduanya tersebar luas di media sosial.
IWAS, mahasiswa semester 7 di Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Gde Pudja Mataram, memiliki rekam jejak akademik yang buruk. Menurut Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan Keuangan, Ni Wayan Rasmini, IWAS jarang hadir di kelas. Bahkan tidak diizinkan mengikuti ujian oleh beberapa dosen.
“Meski memiliki keterampilan tertentu, itu tidak diakui sebagai prestasi akademik karena tidak ada bukti resmi,” jelas Rasmini. (aan/ono)