Sidoarjo, SERU.co.id – R. Bhagas Priyo, (28) warga Sidoarjo, meninggal usai menjalani operasi amandel di salah satu RS swasta di kawasan Kecamatan Kota Sidoarjo. Atas kematian almarhum, pihak keluarga menduga ada SOP yang tidak dijalankan oleh pihak RS sehingga menyebabkan kematian.
KR, adik almarhum saat ditemui di rumahnya menjelaskan, bahwa kakaknya 10 hari sebelum melakukan tindakan operasi melakukan tes kesehatan.
“Dari hasil tes kesehatan di RS yang sama tidak ada rekam medik yang menunjukkan bahwa kakak saya ada riwayat sakit jantung, termasuk jantung,” kata KR adik almarhum, Jumat (27/9/2024) siang.
Lebih jauh dijelaskan KR, saat akan menjalani operasi pada 21 September 2024, di tanggal 20 September 2024, sudah menjalani perawatan di RS.
“Namun pada pagi harinya di tanggal 21 September 2024, sekira pukul 07.22 WIB, kakak saya dikasih makan oleh suster, padahal siangnya akan menjalani operasi amandel dan itu kakak saya foto selfie dan ada di ponselnya,” lanjut dia.
“Sepengetahuan saya, jika orang akan operasi biasanya harus puasa terlebih dahulu. Dan ketika akan menjalani operasi harusnya diobservasi dulu untuk kesehatan pasien, tapi ini tidak dilakukan oleh pihak RS,” tambahnya.
Saat ditanya apakah sebelum operasi, pihak RS mengedukasi pihak keluarga terkait soal pasca operasi dan lain sebagainya, KR mengatakan, pihak RS tidak pernah memberi informasi apapun.
“Saya dan Ibu saya saat menjaga kakak tidak pernah mendapat penjelasan oleh dokter maupun suster soal pasca operasi maupun soal penyembuhan pasien,” terang dia.
Setelah dinyatakan meninggal, di surat keterangan yang diterima keluarga disebutkan bahwa kakaknya meninggal disebabkan Aritmia, yang artinya serangan jantung.
“Ini kan menjadi pertanyaan besar bagi keluarga, jika kena serangan jantung kenapa dokter nekat melakukan operasi. Padahal pada 10 hari sebelumnya rekam kesehatan kakak saya menyatakan tidak ada jantung,” beber dia.
Lanjut KR, setelah kakaknya dimasukkan ruang operasi pukul 11.30 WIB, keluarga menunggu sampai pukul kurang lebih 14.15 WIB, dan disuruh ambil obat ke lantai bawah.
“Ketika saya melihat di layar RS bahwa kakak saya sekitar pukul 14.35 WIB, masih di-anastesi, tidak lama kemudian saya dipanggil dan diinfokan bahwa kakak saya kena serangan jantung,” ungkap dia.
Setelah mendapatkan info itu, lanjut KR, pihaknya langsung tanya kepada petugas RS yang mengatakan “ya mbak setelah operasi ketawa ketawa dan sempat ngobrol,” kata KR menirukan petugas RS.
Lebih jauh diterangkan, saat di ICU saya melihat masih ada alat yang menempel di mulutnya saat dipompa jantung dikasih alat kejut. Sehingga hal itu menjadi pertanyaan bagi saya, gimana kakak saya bisa ngobrol ketika di mulutnya masih terpasang alat operasi.
“Setelah meninggal yang menyampaikan dokter anastesi dan bukan dokter yang melakukan tindakan operasi. Bahkan tidak menemui keluarga setelah kakak meninggal,” ungkap dia.
“Dokter Anastesi itu mengatakan kepada kami, bahwa kakak saya merokok padahal kakak saya tidak pernah merokok, kemudian dikatakan kakak kegemukan di paru paru ada penyumbatan dan tensi juga tinggi 180:200, dari situ Ibu saya bilang jika tinggi kenapa dilakukan operasi dan dokter tidak bisa menjelaskan lebih lanjut,” pungkasnya.
Sementara soal kasus ini pihak keluarha berencana akan melaporkan ke pihak kepolisian. Karena mereka menduga ada tindakan RS yang tidak sesuai SOP terhadap pasien yang akan melakukan tindakan operasi. (iki/ono)