Jakarta, SERU.co.id – Merespons demo penolakan mahasiswa terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai tempat, baik oleh mahasiswa hingga kalangan masyarakat. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) memutuskan membatalkan kenaikan UKT. Keputusan tersebut menindaklanjuti masukan masyarakat dan sejumlah koordinasi dengan PTN, termasuk PTN-BH.
Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim menyampaikan, terima kasih atas masukan konstruktif dari berbagai pihak. Kemendikbudristek pada akhir pekan lalu telah berkoordinasi kembali dengan para pemimpin perguruan tinggi. Tujuannya membahas pembatalan kenaikan UKT.
“Saya mendengar sekali aspirasi mahasiswa, keluarga dan masyarakat. Alhamdulillah koordinasi pekan lalu semuanya lancar. Baru saja saya bertemu dengan Bapak Presiden dan beliau menyetujui pembatalan kenaikan UKT,” seru Nadiem, usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Senin (27/5/2024).
Lebih lanjut, dalam waktu dekat, Kemendikbudristek akan melakukan evaluasi ulang ajuan UKT dari seluruh PTN. Terkait implementasi Permendikbudristek, Dirjen Diktiristek akan mengumumkan detail teknisnya
“Saya bertemu Bapak Presiden untuk membahas berbagai hal di bidang pendidikan, salah satunya perihal UKT. Saya mengajukan beberapa pendekatan untuk bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi mahasiswa,” bebernya.
Sebagai latar belakang, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Diterbitkan sebagai dasar peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi PTN dan PTN-BH. Penyesuaian SSBOPT tersebut mempertimbangkan fakta meningkatnya kebutuhan teknologi untuk pembelajaran.
“Mengingat perubahan pada dunia kerja yang juga semakin maju teknologinya. Sementara SSBOPT tidak pernah dimutakhirkan sejak tahun 2019. Kemendikbudristek dalam hal ini mendorong perguruan tinggi, agar dapat memberikan pembelajaran relevan kepada mahasiswa,” ungkap pemilih Go-Jek itu.
Selain itu, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 juga menekankan dua hal utama dan menjadi pertimbangan penentuan UKT. Yaitu asas berkeadilan dan asas inklusivitas.
“Sebelumnya, sejumlah miskonsepsi terjadi di tengah masyarakat. Sebenarnya, Permendikbudristek tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru. Ada kemungkinan PTN keliru ketika penempatan mahasiswa dalam kelompok UKT tidak sesuai kemampuan ekonominya, karena data yang diberikan mahasiswa tidak akurat,” lanjutnya.
Kemudian ada segelintir PTN yang sebelumnya memiliki UKT rendah atau belum disesuaikan selama lebih dari lima tahun. Akibatnya, kenaikan UKT dirasa tidak wajar.
“Ada kesalahpahaman kelompok UKT tertinggi berlaku untuk kebanyakan mahasiswa. Padahal secara keseluruhan, hanya 3,7 persen mahasiswa baru yang ditempatkan pada kelompok UKT tertinggi,” pungkas Nadiem. (aan/rhd)