Surabaya, SERU.co.id – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur bongkar mafia tanah di Malang, Jawa Timur yang melibatkan suami istri. Polisi juga meringkus tiga pelaku lain. Kelima tersangka yakni, pasangan suami istri (Pasutri) Eka Wulandari (38) dan Hendri (36), Sulton Alamsyah (34), oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batu, Nanang(47) dan Andi Lala (45) penjaga loket.
Wadirreskrimum Polda Jatim, AKBP Pitter Yanottama mengatakan, kasus berawal ketika Supatimah minta tolong mengurus proses balik nama 11 Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada tersangka Eka dan Hendri yang merupakan pasangan suami istri (Pasutri) pada 2016.
“Tersangka Eka menyanggupi dan kemudian meminta bantuan Sulton Alamsyah untuk bisa membantu keinginan dari korban atau pemilik tanah tersebut. Tersangka Hendri tahu kalau Sulton sering membuat akta palsu pada saat bersama-sama bekerja di kantor notaris,” katanya, Senin (6/11/2023).
Baca juga: Cegah Mafia Tanah, Kejari Kota Kediri Bentuk Satgas Mafia Tanah
Kemudian tersangka Eka Wulandari membawa akta-akta itu beserta kelengkapannya untuk proses balik nama 11 SHM ke BPN Kota Batu yang dibantu Nanang, oknum pegawai BPN atau makelar dan Andi Lala sebagai petugas loket.
“Jadi objek perkara dari pengungkapan ini adalah adanya beberapa dokumen palsu yang dibuat oleh tersangka antara lain berupa 8 akta pembagian hak bersama kemudian 3 akta hibah, termasuk juga surat pajak tahun 2017,” tambahnya.
Ketika sudah balik nama menjadi atas nama Supatimah dan Djoko Pornomo, pada Agustus 2017 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Novitasari Dian Priharini yang membuat akta dikonfirmasi oleh BPN Kota Batu untuk pencocokan data. Rupanya didapat fakta akta tersebut bukan produk dari PPAT tersebut.
“Melalui cek dan Ricek dari PPAT Novitasari Dian Priharini menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang palsu tersebut memang palsu karena tidak dikeluarkan oleh Kantor PPAT,” lanjutnya.
Baca juga: Giliran Kementrian ATR BPN, Ganjar Pemkot Batu dengan Penghargaan
Atas dasar tersebut, akhirnya pihak PPAT melaporkan kasus ini pada 2021 kemudian langsung dilanjutkan penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik Subdit I Keamanan Negara (Kamneg) hingga sudah ditetapkan 5 orang tersangka.
Penyelidikan kepolisian, komplotan ini berhasil meraup keuntungan ratusan juta, yang digunakan untuk kepentingan pribadi mereka.
“Tersangka EW mendapat Rp 850 juta namun dari proses penyidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh tersangka sebanyak Rp 230 juta,” paparnya.
“Kemudian untuk tersangka HE mendapatkan keuntungan uang sebesar Rp 50 juta, tersangka SA mendapatkan keuntungan Rp 30 juta, tersangka NA mendapatkan keuntungan uang sebesar Rp 22 juta dan tersangka AL mendapatkan keuntungan sebesar Rp 400.000
Kemudian motif nya kelima tersangka untuk mendapatkan keuntungan materi yaitu berupa uang.
“Tersangka EW mendapat Rp 850 juta namun dari proses penyidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh tersangka sebanyak Rp 230 juta lebih, artinya tidak dapat dipertanggungjawabkan ketika tersangka menyampaikan untuk proses kegiatan sesuai dengan SOP,” tambahnya.
“Kemudian untuk tersangka HE mendapatkan keuntungan uang sebesar Rp 50 juta dari korban kemudian tersangka ketiga yaitu SA mendapatkan keuntungan Rp 30 juta kemudian untuk tersangka NA mendapatkan keuntungan ruang sebesar Rp 22 juta sedangkan untuk tersangka kelima AL mendapatkan keuntungan sebesar Rp 400 ribu,” pungkasnya.
Atas perbuatannya, kelima tersangka dijerat pasal berbeda, Eka dan Hendri dikenakan Pasal 264 ayat 1 dan ayat 2 dan atau pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 Juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun.
Tersangka Sulton Alamsyah dikenakan Pasal 264 ayat 1 KUHP dan atau 263 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun penjara.
Sedangkan tersangka Nanang dan Andi dikenakan Pasal 264 ayat 2 KUHP dan atau Pasal 263 ayat 2 KUHP Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun penjara. (iki/ono)