Johanna Sang Pembaca Teks Sumpah Pemuda

Johanna Sang Pembaca Teks Sumpah Pemuda
Direktur SERU.co.id, MZ. Machrus.

Sumpah Pemuda

Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami Putera dan Puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Setiap tahun bangsa Indonesia memperingati lahirnya Sumpah Pemuda setiap tanggal 2 Oktober. Sumpah Pemuda pertama kali dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928. Peringatan ini memiliki sejarah yang panjang dan cikal bakalnya dimulai pada Kongres Pemuda I yang digelar pada 30 April -2 Mei 1926.

Peringatan Sumpah Pemuda ini mengingatkan kita akan sosok perempuan muda pembaca teks Sumpah Pemuda. Adalah Johanna Masdani atau Johanna Nanap Tumbuan yang lahir di Amurang, Sulawesi Utara pada 29 November 1910. Ketika membacakan teks itu, umurnya masih 18 tahun. Pada hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa. Tetapi Johanna bukan satu-satunya perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda II itu.

Bambang Sularto dalam memoar Wage Rudolf Supratman (1980: 40) menuliskan, kala itu Supratman sempat berkeliling dan mencatat jumlah perempuan yang ditemuinya. Paling tidak, ada sekitar 10 perempuan yang hadir, tetapi hanya empat orang yang ia kenal baik. Mereka adalah Mereka adalah Nona Purnomowulan, Nona Tumbel, Siti Soendari, dan Suwarni Pringgodigdo. Seperti dinukil dari buku Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional tulisan G.A. Ohorella, ‎Sri Sutjiatiningsih, ‎Muchtaruddin Ibrahim, tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan pemuda tidak lepas dari pengamatan kaum wanita, bahkan ikut bergerak mendirikan perkumpulan perempuan.

Baca juga: Panggung Politik Sandiwara

Ketika Kongres Pemuda II digelar pada 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda, cakrawala perhatian wanita semakin berkembang, bahkan perhatian mereka terhadap kegiatan politik semakin nampak. Kaum perempuan pun angkat bicara kalau perjuangan mereka tidak terpisahkan dengan perjuangan bangsa. Untuk menyatukan gerak, mereka mengadakan kongres pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Sumpah Pemuda mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa dan membuktikan bahwa perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Di era milenial, perempuan tidak lagi terkurung dalam kegelapan intelektual. Sekarang perempuan bisa ikut andil dalam bidang politik, bisa bersaing dengan laki-laki. Namun, representasi perempuan dalam politik bisa dibilang masih jauh dari harapan. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia terus berusaha meningkatkan partisipasi Perempuan dalam politik. UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat 2 menerapkan zipper system yang mengatur bahwa 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan masih jauh dari kata memuaskan, bahkan memunculkan pro kontra dalam partai.

Baca juga: Presiden Jokowi di Hari Sumpah Pemuda: Indonesia Emas 2045

Dengan lahirnya para tokoh perempuan seperti Megawati Soekarnoputri (Presiden pertama Perempuan RI), Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri) memberikan angin segar bagi semua Perempuan Indonesia saat ini. Hal ini seperti yang diharapkan oleh Johanna Masdani pada saat itu.

Johanna Masdani adalah salah satu perempuan yang berjuang melawan budaya patriarki yang melekat di masyarakat bahwa derajat perempuan dibawah laki-laki, makhluk lemah yang harus dilindungi. Stigma ini begitu melekat di masyarakat, sehingga menimbulkan rasa pesimis perempuan untuk bersaing dengan para laki-laki untuk memperebutkan kursi jabatan. Semoga perjuangan Johanna tidak akan sia-sia, sehingga memunculkan perempuan-perempuan tangguh berjuang bersama laki-laki untuk untuk menuju Indonesia Emas. (mzm)

Pos terkait