Diterjang Covid-19, Sektor Berbasis Ekonomi Digital Tetap Tangguh

Perbandingan aktifitas sektor non mamin dibandingkan Hypermart yang menyediakan sembako. (rhd)

Malang, SERU.co.id – Pandemi Coronavirus Diseases (Covid-19) sangat berdampak pada masyarakat di sektor ekonomi. Berdasarkan data yang diolah dari berbagai sumber, sektor yang terdampak negatif di antaranya sektor pariwisata, sektor konstruksi, sektor transportasi darat, laut dan udara, sektor pertambangan, sektor keuangan dan sektor otomotif.

Sementara yang terdampak positif dan atau negatif, yaitu sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian. Sektor ini tergantung jenis usaha yang dijalankan dan bagaimana strategi diversifikasi dalam menghadapi Covid-19. Sedangkan sektor yang terdampak positif, di antaranya sektor jasa logistik, sektor jasa telekomunikasi, sektor elektronik, sektor makanan dan minuman, sektor kimia, farmasi dan alat kesehatan, serta sektor tekstil dan produk tekstil.

Bacaan Lainnya
Sektor berpotensi pailit hingga sektor berkembang akibat Covid-19, beserta analisanya. (ilustrasi/ist)

“Jasa telekomunikasi dan elektronik ini menjadi solusi Work From Home (WFH) dan Learn From Home (LFH), sekaligus hiburan tanpa harus keluar rumah. Sebagai kebutuhan mendasar, sektor makanan dan minuman juga menjadi sektor yang sangat dibutuhkan. Dimana pelaku usaha, baik UMKM maupun industri besar, dituntut mampu memberikan layanan antar pesan akibat kebijakan social/physical distancing. Tentunya dengan dukungan teknologi digital,” ungkap Dr. Dias Satria, pakar ekonomi muda asal Malang.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) ini, mencontohkan pula sektor kimia, farmasi dan alat kesehatan, serta sektor tekstil dan produk tekstil. Bahkan banyak elemen membutuhkan stok dari sektor tersebut untuk disumbangkan, sebagai bentuk kepedulian bersama dalam memerangi Covid-19. Percepatannya tak bisa lepas dari teknologi digital.

“Karena kelangkaan dan harga signifikan Alat Pelindung Diri (APD) seperti hazmat, masker, dan lainnya ini menjadi peluang UMKM dan industri tekstil untuk banting setir diversifikasi produk. Demikian pula yang terjadi di industri kimia, farmasi dan alat kesehatan, kewalahan memenuhi permintaan sebagai upaya mencegah penyebaran pandemi Covid-19 ini,” imbuh owner Cari Jagoan, salah satu direktori UMKM di Indonesia.

Dias Satria. (ist)

Menurut Partner East Ventures, Melisa Irene, secara struktur ekonomi pada 2018, porsi sektor yang terkait ekonomi digital masih terbilang kecil. Sektor Informasi dan Komunikasi serta Jasa Keuangan masing-masing berkontribusi sebesar 3,77 % dan 4,15 % terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan Subsektor Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan Kurir hanya 0,88%.

“Meski memiliki porsi yang kecil, pertumbuhan ketiga sektor ini cukup agresif. Rata-rata pertumbuhan sektor terkait ekonomi digital ini selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, setidaknya terlihat dalam lima tahun terakhir. Ke depan, ekonomi digital diperkirakan akan tumbuh semakin pesat,” ungkap Irene, sembari menjelaskan East Ventures merupakan investor 170 startup digital di Asia Tenggara, asal Indonesia sejak tahun 2009.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 64,8% pada 2018 atau naik 10,1% dari tahun sebelumnya dengan penetrasi sebesar 54,7%. Meningkatnya penetrasi internet ditopang oleh membaiknya infrastruktur digital yang tersedia di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tergambar juga dalam East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) yang memperlihatkan bahwa dua pilar utama yang unggul adalah infrastruktur digital dan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

UKM makanan minuman masih mengandalkan order online dan ojol untuk pesan antar. (rhd)

“Kedua pilar ini mendapat skor tertinggi dan memberikan kontribusi positif pada skor daya saing digital Indonesia secara umum. Selain itu, dua pilar ini menjadi potensi dan modal besar bagi Indonesia untuk dapat lebih bersaing
secara global di bidang digital,” tandas Irene.

Meski tak dipungkiri, sejak awal pandemi Covid-19 merebak di Kota Malang, justru sektor makanan dan minuman sempat menurun hingga Kota Malang mengalami deflasi 0,41 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 102,86 pada Maret 2020. Serta menempatkan Kota Malang sebagai satu-satunya kota yang mengalami deflasi, dari 7 kota IHK lainnya di Jawa Timur yang mengalami inflasi. Dugaannya, karena kebijakan social/physical distancing menjadikan kebiasaan wisata kuliner berhenti.

“Deflasi terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,41 persen; dan kelompok transportasi sebesar 3,21 persen,” jelas Drs. Sunaryo, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, dalam keterangan resminya melalui saluran YouTube, Rabu (1/4/2020) lalu. (rhd)

Pos terkait