Malang, SERU.co.id – Beragam industri kreatif menjamur di Kota Malang. Salah satunya kerajinan electroforming yang masih belum banyak diketahui orang, namun sangat menjanjikan untuk UMKM. Daun yang biasanya hanya menjadi sampah tidak berguna, ternyata bisa dilogamkan dengan teknik electroforming. Bukan sulap, bukan sihir …
Serat daun tampak jelas ketika sudah melalui proses perendaman, serta terlihat artistik dan vintage, hingga mampu bertahan bertahun-tahun. Layak dijadikan aksesoris maupun variasi, seperti pigora, bingkai lampu dan lain-lain.
“Proses pelogaman tidak sulit, hanya membutuhkan kesabaran. Karena membutuhkan waktu bertahap dan menyesuaikan bentuk dari permintaan konsumen,” ungkap Pengrajin Electroforming Kota Malang, Wahyu Ratnasari SE, kepada SERU.co.id.

Cara menghilangkan serat daun atau klorofil daun bisa dengan menggunakan soda api. Atau cukup direndam dalam air biasa selama tujuh hari. Secara otomatis permukaan daun akan terlihat rapuh, lalu dikeringkan dan diberi lem untuk mempertahankan serat daun agar lebih kuat.
Selanjutnya, serat daun diberi karbon sebagai penghantar listrik. Lalu dibersihkan dengan kain halus untuk membuang serbuk sisa karbon. Setelah itu, dicelupkan ke cairan elektrolit untuk proses pelogaman.
Konsumen bisa memilih jenis pelogaman, dilapisi tembaga, perak, logam, kuningan atau bahkan emas. Dalam proses pelogaman, daun disambungkan ke salah satu kabel travo dan kabel yang satunya dijadikan pelapis/ground.
“Kita tunggu satu hingga dua jam. Semakin lama perendaman akan semakin tebal lapisan logamnya. Tapi kalau terlalu tebal, serat daunnya gak kelihatan. Makanya kita harus memeriksanya sekali waktu. Ukuran besar kecil daun juga mempengaruhi waktu pelapisan ini,” beber Ratna, sapaan akrabnya.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (FE UB) ini mengungkapkan, dalam proses pewarnaan mengikuti logam yang digunakan. Logam tembaga akan memberikan warna keemasan, logam kuningan akan memberikan warna kuning pada daun, logam perak akan tampak perak pada daun.
Banyak jenis kreasi aksesoris kerajinan electroforming ketika sudah dilogamkan. Dapat dirangkai menjadi frame pigora, kalung, cup lampu, jam dinding, bentuk wayang, dan sebagainya.
Ratna mengaku sudah menggeluti kerajinan electroforming selama 3 tahun terakhir. Sebelumnya, dia pernah belajar di Australia tentang teknik electroforming. Saat itu di Australia hanya sebatas mengolah benda mati.
Dirinya tertarik bagaimana jika diaplikasikan pada obyek di Indonesia yang tidak ada di luar negeri. Semisal daun mangga yang mudah dicari, tak berharga, namun ketika sudah melalui proses pelogaman menghasilkan nilai ekonomis.
“Saya tertarik dengan electroforming ini karena mudah, hasilnya artistik dan natural. Misal keartistikan daun kenanga itukan tak ada di luar negeri. Untuk itu, kita ekspor daun itu setelah dilogamkan agar mereka juga bisa tahu keindahan alam Indonesia,” ungkapnya.
Ratna mengaku pernah menemukan hewan yang ikut terkena electroforming, lantaran tak sengaja masuk dalam proses pelogaman. Sehingga keesokan harinya laba-laba sudah kaku dan menjadi logam.
“Ternyata semua bisa dilogamkan, seperti hewan-hewan kecil itu bisa dilogamkan, tapi kasihan,” terangnya.
Perempuan berusia kepala tiga ini mengaku, sebelumnya menggeluti usaha aksesoris perhiasan selama 12 tahun. Ketika ada peluang, maka ia mengambil kerajinan berteknik electroforming.
Potensi kerajinan electroforming cukup besar dan sangat menjanjikan. Tak hanya pasar nasional, namun sampai menembus pasar internasional. Pecinta seni tidak melihat nilai jual, seberapapun akan diburu karena artistik yang tidak ada di luar negeri.
“Sebelum Covid saya juga pernah membuat dalam bentuk wayang, kemudian kita kirim ke Osaka, Jepang. Jadi bahan daun ini kita bentuk menjadi wayang, kemudian di elektroforming,” jelas Ratna.
Disebutkannya, pernah ada pemesan dari Osaka, Jepang, yang ingin dibuatkan pigora dengan custom hasil electroforming. Link teman diluar negeri ini mengaku, hasil olahan electroforming memang unik dan belum ada daun dilogamkan terlihat artistik.
“Ada juga dari Australia datang kesini, lalu pesan langsung,” paparnya.
Dalam masa pandemi ini, Ratna mengaku omzetnya mengalami penurunan, tapi tidak sepenuhnya demikian. Sebab dirinya pernah mendapat omzet besar di masa pandemi.
“Pernah mendapat omzet hingga Rp 100 juta perbulan dari penjualan kerajinan itu,” serunya.
Terkait harga cukup bervariatif, tergantung ukuran, bentuk dan bahan lapisan logam, seperti emas, perak atau hanya kuningan. Satu biji daun yang dilogamkan berkisar Rp20 ribu sampai Rp300 ribu.
“Kalau sudah jadi bentuk seperti cup lampu atau lainnya, bisa kita jual Rp350 hingga Rp500 ribu, tergantung designnya juga,” tandas Ratna. (ws1/rhd)