Sebut PKI dalam Pilkada, Akademisi Unej: Ada Upaya Memanggil Ingatan Publik Tentang Gerakan Komunis

Dosen FIB Unej, Ikwan Setiawan. (Seru.co.id/amb) - Sebut PKI dalam Pilkada, Akademisi Unej: Ada Upaya Memanggil Ingatan Publik Tentang Gerakan Komunis
Dosen FIB Unej, Ikwan Setiawan. (Seru.co.id/amb)

Jember, SERU.co.id – Akademisi Universitas Jember (Unej), Ikwan Setiawan mengkritisi Calon Bupati nomor urut 2, Muhammad Fawait (Gus Fawait) yang menyinggung soal G30S/PKI dalam sebuah orasi.

Menurutnya, penyebutan soal PKI itu tak pantas dilakukan oleh seorang kontestan yang akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Ikwan menilai, hal tersebut menjadi kurang bijak mengingat dahulu G30S/PKI adalah stigma politik yang timbul di masyarakat dan menganggap bahwa hal itu berseberangan antara rezim penguasa dan rezim-rezim komunis.

“Saya pikir menggunakan narasi G30S/PKI untuk kemudian menggambarkan situasi yang dihadapi ketika banyak hoaks, banyak fitnah atau apalah yang istilah dia itu merugikan sebagai calon bupati, itu kurang bijak,” seru Ikwan pada wartawan, Jum’at (1/11/2024).

“Kenapa saya katakan kurang bijak?. Karena kita harus ingat sejarah ya, narasi-narasi G30S/PKI, narasi komunis itu dulu pada masa orde baru digunakan sebagai politik stigma. Stigma orang-orang yang berseberangan dengan rezim penguasa, dengan label-label komunis G30S/PKI,” tambahnya.

Ikwan menegaskan, apa yang dilakukan oleh Gus Fawait untuk membuka kembali luka sejarah yang telah berlalu dengan memberikan suguhan narasi soal PKI, akan berpotensi melukai kesadaran politik warga Jember.

“Sehingga kemudian ada semacam luka sejarah di bangsa ini. Kita tidak ingin kemudian masyarakat Jember disuguhi narasi yang demikian, karena punya potensi juga untuk melukai kesadaran politik warga Jember yang sebenarnya sudah asik,” ucap Wadek III FIB Unej itu.

“Kenapa saya katakan asik? Saya memantau perkembangan (Pilkada) dari awal proses yang ada di Jember ini, sebenarnya tidak terlalu ada kondisi yang itu cukup genting sehingga harus pakai narasi yang memanggil dari masa lalu G30S/PKI itu,” tegas Ikwan menambahkan.

Dinamika politik yang biasa-biasa saja di Jember, kata Ikwan melanjutkan, kalaupun ada hoaks maupun fitnah di Medsos, tak perlu sampai sebegitunya bahkan menyebut nama PKI dalam sebuah orasi.

“Karena memang itu respon (yang muncul) dari publik ketika kemudian ada calon bupati yang menggunakan narasi G30S/PKI. Dan kita nggak bisa melarang publik. Nah semestinya begini ya, saya lebih menyukai kalau kemudian para kontestan baik Cabup maupun Cawabup itu melakukan kampanye-kampanye yang bijak, yang bicara program visi dan misi,” sambungnya menegaskan.

Ikwan menilai, penyebutan G30S/PKI yang dilakukan Gus Fawait dalam sebuah orasi merupakan bentuk upaya memanggil ingatan publik tentang peristiwa kelam di masa lalu.

“Makanya kan para pendukungnya mengatakan, ini kan menyadarkan publik tentang potensi bahwa ada gerakan-gerakan yang serupa dengan komunis yang di masa lalu kemudian berhadapan dengan santri,” kata Ikwan.

“Nah ini yang kemudian harus kita sikapi dengan kritis ya. Kalau kemudian upaya itu digunakan terus-menerus, nah ini yang saya takutkan nanti bisa terjadi benturan. Jadi seolah-olah kemudian asumsi ini kok ada salah satu yang menuduh PKI. Padahal mungkin maunya nggak seperti itu,” sambungnya.

Namun demikian, Wakil Dekan III FIB Unej itu juga mengatakan, respon yang ditimbulkan oleh publik pasti dengan cara yang berbeda-beda. Bisa saja ucapan yang dilakukan oleh Gus Fawait soal PKI digunakan untuk memenangkan Paslon tertentu.

“Publik bisa meresponnya dengan cara berbeda. Nah ini yang saya khawatirkan gitu loh. Ini dia konteksnya adalah ngomong dalam masa-masa Pilkada gitu kan. Tapi tujuannya apa? Goalnya adalah untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Dan itu terbukti di bagian akhir, kalau gak salah di video (orasi Gus Fawait sebut PKI) kan ada menang-menang gitu kan kalau tidak salah,” katanya.

Menjadikan pendapat para pendukung yang itu mengatakan itu edukasi, untuk solidaritas dan sebagainya, kata Ikwan, itu keluar dari konteks yang sebenarnya diomongkan di situ.

“Kalau ada orang bicara konteks, ini kan konteksnya tentang pengingatan santri dan memang benar seperti itu. Tapi yang harus diingat adalah dia itu siapa? Dia adalah salah satu kandidat. Jadi omongan dia kemudian akan dipahami sebagai omongan politik. Apalagi di bagian akhirnya juga dia mengatakan untuk menang-menang itu tadi,” bebernya.

“Berbahaya saya pikir, jangan sampai kemudian publik itu menjadi gaduh dan terpecah belah gara-gara isu ini. Karena di masing-masing calon itu ada santrinya,” tambah Ikwan.

“Saya katakan boleh saja mungkin para pendukungnya mengatakan itu adalah edukasi politik untuk publik, yang mengingatkan publik agar kemudian peran santri, mengingatkan publik tentang bahayanya gerakan-gerakan moral komunis,” ulasnya.

“Tapi konteksnya yang tidak tepat, karena apa? Karena kemudian itu seolah-olah melegitimasi bahwa yang diomongkan oleh calon itu, itu memang kemudian ada benarnya. Padahal sebenarnya dalam konteks proses edukasi publik nggak seperti itu. Mestinya kalau mau edukasi publik ya sudah, kalau emang kemudian ada fitnah, ada hoaks mari kita laporkan,” sambungnya mengaskan.

Edukasi yang sebenarnya, lebih lanjut kata Ikwan, adalah dengan memaparkan visi misi serta program yang akan diberikan untuk masyarakat Jember ketika terpilih nanti.

“Itu yang diharapkan agar masyarakat memilih mereka dan jangan sampai itu kemudian diulangi lagi lah seperti itu. Mari kita berpolitik dengan bijak, dengan asik, dengan riang gembira gitu kan, itu maksud saya,” pungkasnya. (amb/mzm)

disclaimer

Pos terkait