UB Kukuhkan Prof Dr Ir Agus Suryanto, MS dan Prof Ir Hadi Suyono, ST, MT, PhD, IPU
Malang, SERU.co.id – Meski di tengah pandemi Covid-19, Universitas Brawijaya (UB) terus menambah jumlah guru besar dengan mengukuhkan dua profesor baru. Yakni Prof Dr Ir Agus Suryanto, MS, dari Fakultas Pertanian (FP) dan Prof Ir Hadi Suyono, ST, MT, PhD, IPU, dari Fakultas Teknik (FT), di Gedung Widyaloka UB, Rabu (22/7/2020). Total saat ini, UB telah menghasilkan 264 profesor aktif.
Tercatat, Prof Dr Ir Agus Suryanto, MS, yang dikukuhkan sebagai Profesor di Bidang Ilmu Ekologi Tanaman ini, merupakan profesor aktif ke-43 dari Fakultas Pertanian (FP), dan profesor aktif ke-186 di UB, serta profesor ke-263 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Sedangkan Prof Ir Hadi Suyono, ST, MT, PhD, IPU, yang dikukuhkan sebagai Profesor dalam Bidang Ilmu Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan ini, merupakan profesor aktif ke-15 dari Fakultas Teknik (FT), dan profesor aktif ke-187 di UB, serta profesor ke-264 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan UB.
Dalam pidato pengukuhan ilmiah berjudul “Strategi Peningkatan Efisiensi Konversi Energi Matahari pada Sistem Produksi Pertanian melalui Pengelolaan Pola Tanam”, Prof Dr Ir Agus Suryanto, MS, menyampaikan, sebagai negara tropis, Indonesia sebenarnya kaya akan sinar matahari. Namun sayangnya hingga saat ini limpahan sinar matahari tersebut belum dikonversikan secara maksimal untuk meningkatkan produksi budidaya pertanian.
“Jika dibandingkan negara lainnya, dimana matahari hanya bersinar 6-8 jam, di Indonesia matahari bersinar 12 jam per hari. Tapi sayangnya sinar matahari yang tersedia secara gratis tersebut belum bisa dimaksimalkan,” seru dosen Jurusan Budidaya Pertanian ini.
Menurutnya, produktivitas tanaman pertanian sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. “Dengan memaksimalkan konversi energi matahari menjadi energi kimia, diharapkan tak perlu lagi mengandalkan input sarana produksi buatan, seperti pupuk kimia yang justru menyebabkan penambahan biaya produksi dan tidak ramah lingkungan,” imbuh pria yang juga menjabat Wakil I Bidang Akademik UB Kediri.
Kenyataannya, konversi energi matahari menjadi energi kimia, efisiensinya hanya sekitar dua persen saja. Nilai Efisiensi Konversi Energi (EKE) yang rendah tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya pemantulan dan penerusan energi matahari yang jatuh pada tajuk tanaman, penggunaan sebagian energi matahari untuk transpirasi dan pembongkaran kembali hasil fotosintesis dalam proses respirasi, serta sistem budidaya tanaman yang kurang tepat.
Sementara hasil penelitian Agus Suryanto menunjukkan, perbaikan lingkungan tanaman dengan penataan pola tanam. Dalam hal ini mengatur waktu tanam, pemilihan varietas berdaun tegak (errect) dan tata letak tanaman dalam baris ganda pada tanaman padi, pemberian mulsa dan penggunaan tata letak baris ganda pada tanaman jagung, penambahan populasi dan penanaman secara tumpangsari pada tanaman kentang.
“Dengan pola ini, mampu meningkatkan EKE antara 1-3 persen tergantung perlakuan dan jenis tanaman. Peningkatan EKE ini diikuti pula dengan peningkatan produksi tanaman hingga 50 persen,” tandas pria kelahiran Malang, 18 Agustus 1955 ini.
Sementara itu, Prof Ir Hadi Suyono, ST, MT, PhD, IPU, dalam pidato berjudul “Strategi Percepatan Integrasi Pembangkit Energi Baru dan Terbarukan pada Sistem Tenaga Listrik di Indonesia”, mengatakan saat ini kebutuhan akan energi listrik baik di dunia global dan di Indonesia, pada setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring peningkatan dan perbaikan ekonomi global. Dimana sumber energi listrik terbesar masih disuplai oleh pembangkit berbahan bakar fosil, yaitu batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
“Peningkatan konsumsi energi listrik juga terjadi di Indonesia. Pada akhir tahun 2018 terjadi peningkatan sebesar 5,1 persen dibandingkan tahun 2017, dengan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 6,2 persen sejak tahun 2000,” terang Ketua Jurusan Elektro FT-UB ini.
Untuk mengurangi kelangkaan bahan bakar fosil yang mulai berkurang dan mengurangi pencemaran lingkungan, maka pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) perlu diimplementasikan dan dikembangkan. Karena itu masih perlu banyak usaha dan kesempatan implementasi EBT pada sistem kelistrikan di Indonesia. Dimana memiliki banyak keuntungan, seperti ramah lingkungan, ketersedian sumber primernya sangat banyak dan tak terbatas.
“Karena itu, perlu strategi akselerasi implementasi pembangkit EBT untuk mencapai target yang telah dibuat. Di antaranya penguatan dan implementasi regulasi yang dibuat pemerintah, pengembangan sistem pembangkit hibrida yang biasanya menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), implementasi dan pengembangan injeksi pembangkit EBT pada sistem distribusi, serta meningkatkan integrasi hybrid pembangkit listrik tenaga surya dan angin,” seru S3 Electrical Engineering di University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia ini.
Mengapresiasi keduanya, Ketua Senat UB, Prof Dr Ir Arifin, MS berharap, profesor baru mampu memacu pengembangan fakultas masing-masing, lebih menyemarakkan atmosfir akademik, menyemarakkan kajian-kajian baru, temuan-temuan baru untuk membawa UB semakin maju dan berkembang.
“Hadirnya dua profesor baru ini merupakan modal yang harus dimanfaatkan untuk menopang kepentingan UB lebih luas. Khususnya, memajukan UB dalam mempersiapkan diri sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH),” tandas Arifin. (rhd)