Modal Copas, Jurnalis Masa Kini Rentan Minim Literasi

img 20210501 132858
Ketua AJI dan Ketua PWI Malang Raya. (ws1)

Malang, SERU.co.id – Jumlah wartawan di Malang Raya lebih dari 100 orang, baik dari media resmi maupun media yang tak jelas keabsahannya. Dari kuantitas tersebut, belum semua awak media memiliki dasar kejurnalistikan. Sehingga muncul banyak permasalahan, terutama penulisan berita atau produk jurnalistik yang tak sesuai kaidah jurnalistik maupun penulisan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Bacaan Lainnya

Ketua PWI Malang Raya, Cahyono mengatakan, banyak ditemukan permasalahan di lapangan yang akhirnya menjadi bumerang bagi insan wartawan itu sendiri. Misalnya, wartawan pemula dalam peliputan tidak menerapkan kaidah jurnalistik, bahkan tidak tahu Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Padahal KEJ itu rambu-rambu dalam menjalankan profesinya.

“Saya lihat teman-teman wartawan itu masih banyak yang belum menguasai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Banyak pemberitaan yang tidak sesuai dengan kaidah kejurnalistikan,” seru Cahyono.

Ketua PWI Malang Raya periode 2021-2024 ini menambahkan, teman-teman wartawan muda maupun baru menerjuni profesi ini, tidak seperti wartawan dahulu. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, metode bekerjanya bukan murni karya sendiri dengan turun ke lapangan. Namun mereka lebih cenderung bekerja dengan copy paste.

“Lain dengan teman-teman wartawan senior dulu dipastikan terjun ke lapangan. Sementara saat ini kurang menggali, tidak konfirmasi ke narasumber, hanya mengandalkan teknologi. Saya menghimbau jangan meremehkan SOP. Kita ini jurnalis, ya harus di lapangan ketemu narasumber,” tegas wartawan Harian Bhirawa ini.

Lebih lanjut, Cahyono menyebut, ada teman-teman wartawan, meski tidak semua, turun ke lapangan hanya sekadar mencari uang. Bahkan ada beberapa oknum dari LSM menyaru awak media, hanya demi mendapatkan sesuatu, bukan lagi orientasi informasi untuk berita. Hingga berbuntut laporan terkait tindakan oknum wartawan merugikan pihak instansi.

ketua aji pwi malang raya
Ketua AJI Malang Muhammad Zainuddin dan Ketua PWI Malang Raya Cahyono (ws1)

“Ini jelas menciderai profesi wartawan sesungguhnya,” tegasnya.

Pihaknya mengatakan, PWI Malang Raya memiliki Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI), satu-satunya di Jawa Timur. Sebagai wadah jurnalis pemula untuk bisa lebih paham kejurnalistikan. Namun kenyataannya, peminatnya bisa dihitung jari.

“Padahal kita menawarkan secara gratis. Saya tidak tahu kenapa teman-teman wartawan yang baru-baru ini, tidak respek untuk mengikuti pelatihan,” terang Cahyono.

Terkait kompetensi dan pengetahuan, dirinya mendorong, terutama angggota PWI, untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Agar bisa menghadirkan informasi kepada masyarakat secara berkualitas, akurat, inspiratif dan berimbang. Selain antisipasi ketika jurnalis tidak menguasai pengetahuan, dan menghindari narasumber tidak respek atas apa yang ditanyakan.

“Meski kita S1, ketika mendapat narasumber yang lebih tinggi, kita tidak boleh kalah (segi pengetahuan) dengan narasumber. Caranya, tingkatkan literasi kita,” tandasnya.

Lain halnya, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Muhammad Zainuddin mengungkapkan, dalam pilar birokrasi ada lima komponen. Di antaranya ada komponen netizen (masyarakat) dan jurnalis (media). Keduanya sering terjadi perselisihan, yang tidak jarang berbuntut hukum.

“Konflik antara netizen dan jurnalis, masih sering terjadi bahkan berpotensi masalah hukum. Beda kalau pers bermasalah dengan eksekutif dan legislatif, lebih mudah berdamai dengan iklan sudah selesai,” terang redaktur Surya Malang ini.

Pihaknya menjelaskan, di era digital, jurnalis dituntut kecepatan berita, namun tak boleh mengabaikan akurasi berita yang disuguhkan ke publik. Karena telah lama berkutat di newsroom pemberitaan, dirinya tidak memungkiri adanya praktik copy paste. Ditambah tuntutan perusahaan untuk mengejar CEO, meningkatkan portal berita menjadi alasan logis.

“Bayangkan kalau satu wartawan, paling tidak dibebankan mencari lima berita. Dengan durasi seumpama mulai jam delapan pagi liputan, kemudian sampai jam empat masih di TKP. Lima berita saya rasa susah,” serunya.

Dirinya menambahkan, banyak sekali perbedaan antara jurnalis dahulu dengan sekarang. Butuh waktu semisal dua sampai tiga jam perjalanan demi mencari berita. Berbeda sekarang, kejadian pukul tiga, pukul empat berita sudah tayang di online, namun kualitasnya berbeda.

“Jangan heran antara berita Jawa Pos, Surya, Radar, ketika dijejerkan akan berbeda,” pungkasnya. (ws1/rhd)

Baca Juga :

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *