Ironi Masalah Klasik Aktivis, Antara Pergerakan dan Nilai Akademik

Ilustrasi beberapa aksi aktivis mahasiswa menuntut penolakan 3 periode dan penurunan harga bahan pokok. (jaz) - Ironi Masalah Klasik Aktivis, Antara Pergerakan dan Nilai Akademik
Ilustrasi beberapa aksi aktivis mahasiswa menuntut penolakan 3 periode dan penurunan harga bahan pokok. (jaz)

Malang, SERU.co.id – Aktivis merupakan julukan bagi mahasiswa yang menyuarakan aspirasinya, baik melalui aksi maupun dengan advokasi. Namun masalah klasik bagi mahasiswa adalah menyeimbangkan antara organisasi dengan akademisi, antara pergerakan dan nilai akademik, yang terkadang berat sebelah.

Salah satu aktivis UIN Maliki Malang yang saat ini sebagai Dosen LB Sekolah Vokasi Universitas Negeri Surakarta, Lutfi Hamdani MM menjelaskan, salah satu masalah yang dihadapi sebagian mahasiswa yang aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah sama. Baginya, problem banyaknya aktivitas organisasi, sehingga kuliah dinomor duakan.

Bacaan Lainnya

“Kemudian kalau akhir-akhir itu trend-nya terus begitu, citranya kayak kurang bagus bagi generasi PMII,” seru Lutfi Hamdani, saat dikonfirmasi SERU.co.id, Minggu (17/4/2022).

Adanya kemunduran jika budaya tersebut dipertahankan. Lutfi tidak menampik, ketika senior-senior aktif sering muncul di event-event kuliah, tetapi dari sisi akademis kurang bagus, sehingga calon anggota baru jadi pesimis.

Dikatakan Lutfi, calon kader malah tidak tertarik melihat permasalahan klasik dari waktu ke waktu tersebut. Sehingga dirinya terus mengingatkan, meski terkadang didengar dan juga tidak diindahkan. Berbeda ketika memberikan suri tauladan berupa karya dan prestasi, maka akan membekas dalam diri kader baru.

“Pikirku kalau aku memimpin dengan memberikan contoh bisa berjalan dengan bagus. Artinya organisasi berjalan sesuai target, serta teman-teman mempunyai contoh untuk ditiru,” ungkapnya.

Lebih lanjut, penguatan kembali bahwa tugas aktivis juga di bidang Sosial Ekonomi dan Keagamaan serta lainnya. Karena memang harus lebih intens, lebih transformatif dan lebih modern, apalagi dengan adanya teknologi.

“Memang harus dapat memberikan sumbangsih di bidang peradaban. Terutama dari segi sosial, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan. Itu memang sudah seharusnya terlibat di situ,” katanya.

Ia berpesan, aktivis adalah gerakan intelektual, dimana kader-kader juga harus pintar di bidang akademik. Ketika tidak dapat menguasai dalam bidang keilmuan fakultatifnya, maka kurang bergairah. Ia mencontohkan dirinya, kuliah di manajemen, otomatis kajian-kajian tentunya yang didapat dari perkuliahan digunakan kajian.

“Ketika teman-teman aktif dan bagus prestasi akademiknya, pasti kajian-kajian gerakannya pasti bagus juga, tidak asal-asalan. Kedua hal ini tidak bisa dipertentangkan,” papar Direktur Penerbit Buku CV Indonesia Imaji.

Selanjutnya, Lutfi menjelaskan, kegiatan advokasi lain sudah harus mulai berjalan. Walaupun nanti harus mulai dipikirkan, bagaimana gerakannya diintegrasikan dengan informasi teknologi, misalnya digital.

Perihal tantangan, ia menjelaskan, kedepan bukan cuma mahasiswa yang menghadapinya, tapi semua bidang. Seperti pengusaha, pemerintah, pendidikan, semua akan mengalami. Tantangan terbesar aktivis ialah melakukan penyesuaian diri kegiatan supaya program-programnya bisa tetap jalan, termasuk kaderisasi.

“Bisa tetap bermutu meski programnya dilaksanakan secara hybrid misalnya. Kemudian di bidang gerakan beberapa waktu terakhir, mahasiswa sudah bisa melakukan aksi massa lagi,” tandas penulis buku ‘Hidup Wajib Bahagia’ dan buku ‘Disrupsi: Kumpulan Puisi’. (jaz/rhd)


Baca juga:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *