Dilema Pendidikan Indonesia: Berseragam untuk Bimbel

Dilema Pendidikan Indonesia: Berseragam untuk Bimbel
Dilema Pendidikan Indonesia: Berseragam untuk Bimbel

SERU.co.id – Dinginnya subuh di Buah Batu Bandung menusuk pori-pori kulit Mira, siswi kelas dua belas salah satu SMA negeri favorit di Bandung. Tak lupa berpamitan dengan kedua orang tua, tepat pukul enam pagi ia berangkat menuju sekolahnya. Sesampainya di kelas, ia langsung mengeluarkan tugas-tugas bimbingan belajar (bimbel)-nya yang menumpuk. Tuntutan try out di akhir minggu memaksanya mengkhatamkan materi-materi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Mira Fortuna, begitu nama lengkapnya, mengaku ia tak sendiri. Beberapa rekan kelasnya juga ditimpa beban yang sama, yakni mengerjakan tugas-tugas bimbel.

Tak jarang siswa tahap akhir SMA berseragam rapih ke sekolah hanya untuk mempelajari dan mengerjakan tugas-tugas bimbel. Usai bel akhir berdering, pelbagai kelompok siswa bergegas menuju tempat bimbelnya masing-masing dan “kembali bersekolah” hingga malam menanti. Pun Salma Fatharani Sani. Kendati sudah diterima di salah satu perguruan tinggi di Jatinangor, ia mengaku lebih nyaman belajar di lembaga bimbel. Ungkapnya, para pengajar di bimbel lebih menyenangkan.

Bacaan Lainnya

“Iya, lebih nyaman di sini (bimbel). Lebih enak belajarnya, waktunya lebih lama jadi lebih kondusif juga belajarnya. Waktu untuk bertanya (ke guru) juga lebih banyak jadinya,” ungkap Salma. Kondusifitas belajar Mira dipengaruhi jumlah siswa yang ada. Dengan proporsi siswa yang lebih sedikit, Mira percaya belajar di bimbel membuatnya lebih mudah memahami pelajaran. “Semakin banyak orang, kadang-kadang suka ada yang ngobrol satu sama lain, ada yang enggak merhatiin. Jadinya kurang kondusif,” terang Mira. Sistem bimbel memang begitu adanya. Dengan tingkatan kelas yang berbeda-beda dan biaya yang tentunya berbeda, setiap siswa mendapatkan kelas “spesial” dengan kuota siswa yang terbatas. Salah satunya adalah Tridaya. Lembaga bimbingan yang sudah berdiri selama lebih dari 26 tahun ini memiliki jargon “satu guru lima siswa”.

Selain jumlah siswa dan durasi pembelajaran, menurut Iwan Rasiwa, seorang guru bimbel di salah satu lembaga bimbel di daerah Cibeunying Bandung, program bimbel memiliki aturan yang tidak mengekang. Menurut guru mata pelajaran sejarah tersebut, alasan itu membuat siswa jauh lebih nyaman “bersekolah” di bimbel ketimbang di sekolah. “Kenapa anak mengatakan lebih nyaman di bimbel, sebenarnya bukan masalah metode di bimbel. Karena saya kira di sekolah pun metode (belajarnya) sama. Kurang lebih dari segi aturan. Bimbel kan aturannya bebas, informal. Pakaian tidak harus seragam, ngomong dengan guru bisa dengan (sapaan) seperti ‘kak’ atau ‘kang’ atau ‘teh’.

Intinya pressure di bimbel tidak keras. Sedangkan di sekolah kan memang keras karena membentuk karakter juga,” ujar Iwan panjang. Tanti Dhamayanti, guru bahasa Indonesia salah satu SMA Negeri favorit di Bandung membenarkan apa yang Iwan tuturkan. Menurutnya, sekolah memang menguji setidaknya tiga aspek untuk kelulusan. Aspek-aspek tersebut merupakan apa yang Iwan sampaikan mengenai pembentukan karakter. “Kalau di bimbel satu (penilaiannya), penilaiannya hanya kognitif. Sedangkan kami di sekolah menerapkan tiga, yaitu sikap, kognitif, lalu keterampilan,” ujar Guru yang sudah mengajar selama 28 tahun tersebut. Penerapan pemahaman kognisi di sekolah pun menurut Tanti berbeda dengan sistem yang diterapkan bimbel. Ulasnya, pertanggungjawaban sekolah akan kognisi siswanya benar-benar serius. Alasan tersebut membuat sekolah-sekolah memiliki sistem remedial untuk menguji ulang kognisinya. Sepakat dengan Tanti, Iwan menuturkan sistem bimbel hanya memaksa siswa untuk bisa mengerjakan soal, tidak lebih.

“Bimbel tujuannya anak-anak bisa mengerjakan soal SBMPTN, itu saja. Mungkin di samping itu, anak banyak pengetahuan,” singkat lulusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia tersebut. Lain halnya dengan persoalan pengajar. Bagi para pengajar sekolah, khususnya sekolah negeri, persoalan administrasi selalu membayangi jam kerjanya. Persoalan tersebut membuat guru terengah-engah akan waktu mengajarnya. Bahkan, Iwan selaku tenaga pengajar bimbel juga mengiyakan problematika guru sekolah. “Guru sekolah itu tugasnya tidak hanya (sebagai) pengajar, dia punya tugas sebagai administrator.

Dia harus bisa mengelola silabus, program tahunan atau Prota, program semesteran atau Promes, ada pula Rencana  Pendidikan Pembelajaran (RPP). Sedangkan guru bimbel? Kurikulum kami buat sendiri, sedangkan kurikulum sekolah sudah saklek dari atas, struktural,” beber Iwan tentang kesibukan guru sekolah di luar waktu mengajar. Sedangkan menurut Tanti, seiring waktu persoalan administrasi guru perlahan mulai berkurang. Pemerintah membantu guru dengan membuat Rencana Pendidikan Pengajaran (RPP) yang dapat diulik guru mata pelajaran masing-masing.

“Administrasi sudah ada, kita tinggal mengubah. Sekarang sudah begitu, jadi isinya sudah pembelajaran per pertemuan. Isinya perhitungan waktu ulangan, pengayaan, remedial, semua ada di situ,” jelas Tanti mengenai permasalahan administrasi guru. Dari segala penuturan tersebut, Iwan berpendapat sekolah sebagai lembaga formal tidak dapat dibandingkan dengan bimbel.

Katanya institusi sekolah dan lembaga bimbel bekerja sebagai pelengkap, bukan sebagai ajang pembandingan. “Sebenarnya tidak bisa membandingkan sekolah dan les. Bukan proses pembandingan, tapi saling melengkapi. Apa yang tidak ada di sekolah, didapatkan di bimbel. Bimbel kan lembaga non-formal, penjual jasa, bisnis. Kalau ada anak yang mengatakan bimbel lebih asik, ya wajar, karena bimbel menjual jasa,” ungkap Iwan

. Tidak senada dengan Iwan, Tanti menyanggah status bimbel dan sekolah yang saling melengkapi. Ungkapnya, justru bimbel menambah pekerjaan bagi para siswa, bukan melengkapi kekurangan siswa yang belum terisi. “Kenapa saya tidak setuju dengan saling melengkapi. Satu, kesehatan siswanya bagaimana? Harus dipertanyakan. Siswanya capek, habis sekolah langsung bimbel. Kedua, kasihan juga orangtuanya, dobel (bayarnya). Sampai ada yang nyicilorangtuanya untuk masuk bimbel,” tutur Tanti.

Ia menceritakan, ironi itu benar-benar terjadi. Ketika siswa beranjak dari rumah ke sekolah hanya demi mengerjakan tugas-tugas bimbelnya. Ditambah waktu sore menjelang malamnya yang mereka isi dengan “sekolah kedua”-nya. Praktek itu benar-benar terlihat mata Tanti di sekolahnya. “Jadi mereka di sekolah, (malah) mengerjakan soal-soal bimbel.

Itu yang saya kurang setuju dengan saling melengkapi. Mereka lebih percaya soal-soal bimbel dari pada guru (sekolah) yang mengajar. Justru mengganggu (siswa), bukan melengkapi siswa,” tambahnya. Ironi tersebut membuat Iwan membuat hipotesis problematika pendidikan di Indonesia.

Tuturnya, selagi bisnis jasa pendidikan bimbel masih menjamur, artinya pula sistem pendidikan di Indonesia masih buruk. Ia mengisyaratkan pendidikan seharusnya dapat ditempuh dalam skala formal semata, tidak perlu tambahan di luar sekolah. “Ciri negara yang maju pendidikannya adalah sudah tidak ada lembaga bimbel. Kalau masih banyak lembaga bimbel di suatu negara, artinya sistem pendidikannya masih jelek,” jelasnya. Berangkat dari hipotesis Iwan, Tanti merasa sudah sepatutnya pendidikan ditempuh lembaga formal saja, tidak melibatkan lembaga bimbel.

Menurutnya otoritas pendidikan sepenuhnya dikontrol oleh sekolah selaku lembaga formal. “Seharusnya itu semua (pendidikan kognisi) semua tercover oleh sekolah. Karena otoritas pendidikan ada di sekolah,” kata Tanti. Ihwal segala problematika lembaga pendidikan bimbel dan sekolah barusan, Salma dan Mira selaku pengguna jasa bimbel mengaku senang menggunakan jasa bimbel. Kendati merogoh kocek yang tak sedikit, mereka merasa bimbel sangat membantu kegiatan akademisnya. “Worth it sih, soalnya memang dapat ilmunya juga dan karena niatnya memang belajar.

Untung juga di sini (tempat bimbelnya) bagus kualitasnya. Dari awal emang niatnya belajar, dan hasil akhirnya juga keliatan,” tutur Salma yang mengaku hasilnya bimbel berupa diterima jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Mira juga merasa pendidikan bimbel membuat kegiatan belajar mengajarnya lebih nyaman. Ia menuturkan jika sebenarnya sekolah hanya proses formal pengejaran ijazah kelulusan. “Worth it, banyak yang aku dapat di sini tapi enggak dapat di sekolah. Aku interaksi sama guru lebih enjoy di sini daripada di sekolah. Jadi melihat ke guru itu tidak takut lagi di sini.

Sebenarnya di sekolah juga kan kita bayar, cuman buat ijazah. Sedangkan di sini memang buat mengejar ilmunya sih,” jelas Mira akan sistem bimbel. Apa yang Mira dan Salma rasakan acapnya dirasakan siswa lain di seluruh penjuru tanah air.

Tak heran jika data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Data Sensus Ekonomi 2016 menunjukkan jumlah usaha pendidikan bimbel melonjak di angka 619.947 usaha. Sedangkan pada 2016, masih dari data yang sama, sekolah negeri yang tersebar di Indonesia hanya berada di angka 12.689 sekolah.

Nampaknya pihak swasta masih memiliki andil dalam jalannya pendidikan di Indonesia. Fenomena bersekolah untuk bimbel kiranya menjadi pecutan bagi seluruh penggerak roda pendidikan di Indonesia. Hipotesis Iwan perlu ditelusuri lebih lanjut. Apakah betul sistem pendidikan di Indonesia masih buruk?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *