Menteri HAM Menolak Usulan Restorative Justice dalam Kasus Perusakan Rumah Doa di Sukabumi

Menteri HAM Menolak Usulan Restorative Justice dalam Kasus Perusakan Rumah Doa di Sukabumi
Menteri HAM sebut usulan restorative justice mencederai rasa keadilan para korban. (ist)

Sukabumi, SERU.co.id – Kasus perusakan rumah tinggal yang difungsikan sebagai tempat ibadah di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, terus bergulir. Polres Sukabumi sudah menetapkan delapan orang tersangka, termasuk tersangka baru berinisial YY (50), warga setempat. Dengan tegas, Menteri HAM menolak usulan restorative justice dalam kasus ini.

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol. Hendra Rochmawan menyebutkan, para tersangka diduga merusak satu unit gitar dan mobil Suzuki Ertiga milik saudari Maria di rumah singgah yang dijadikan tempat retret.

Bacaan Lainnya

“Mereka merusak kendaraan dengan cara membaret menggunakan batu,” seru Hendra, dikutip dari Detik, Minggu (6/7/2025).

Di tengah perkembangan kasus, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai menegaskan, pihaknya tidak akan mengusulkan penangguhan penahanan terhadap para tersangka. Ia menolak usulan yang sempat dilontarkan oleh staf khususnya, Thomas Harming Suwarta. Dimana ingin mendorong pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

“Saya tidak akan menindaklanjuti usulan tersebut. Karena hal itu justru mencederai rasa keadilan para korban. Hingga saat ini, Kementerian HAM belum mengeluarkan pernyataan resmi. Kami masih menunggu laporan lengkap dari Kantor Wilayah Jawa Barat,” ujar Pigai.

Komisi Nasional Perlindungan Anak turut menyoroti kasus ini dengan tegas. Ketua Umum Komnas Anak, Agustinus Sirait mengingatkan, penerapan keadilan restoratif tidak bisa dilakukan dalam kasus yang menimbulkan keresahan publik. Apalagi menyangkut kekerasan terhadap anak.

“Peristiwa semacam ini bisa menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak, tanpa memandang agama atau latar belakang mereka. Mereka adalah generasi penerus Indonesia Emas 2045. Mereka butuh perlindungan nyata, bukan sekadar wacana,” tegas Agustinus.

Sementara itu, Kementerian Agama tengah merancang regulasi khusus untuk mengatur keberadaan rumah doa. Rumah doa kerap digunakan oleh komunitas tertentu untuk beribadah, namun selama ini belum diatur secara spesifik dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Dimana hanya mencakup tempat ibadah formal seperti masjid, gereja, vihara, pura dan klenteng.

“Regulasi ini diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau gesekan di masyarakat. Rumah doa merupakan ekspresi iman yang dijamin oleh konstitusi. Namun karena dilakukan di ruang privat yang berdampak ke publik, maka perlu ada payung hukum,” kata Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad.

Menurutnya, selama ini rumah doa belum memiliki prosedur formal yang bisa dijadikan acuan hukum dalam pelaksanaan ibadah. Akibatnya menjadi rentan dipermasalahkan di lapangan. (aan/mzm)

disclaimer

Pos terkait