Wadahi Pelukis, Sadikin Pard Buka Galeri Di Atas Kediamannya

• Ajak 100 pelukis se-Jawa Bali unjuk kompetensi

Kota Malang, SERU – Sang maestro pelukis internasional asal Malang, Sadikin Pard berhasil mewujudkan mimpi yang diangankannya bertahun-tahun. Pelukis disabilitas yang menggunakan kaki dan mulutnya dalam melukis ini membuka Sadikin Pard Gallery (AMPFA), yang berlokasi di jalan Selat Sunda Raya No.D5/35, Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Sabtu (14/12/2019) sore.

Bacaan Lainnya

Galeri seluas 400-an meter persegi yang berada di lantai 2 dan 3 ini, tak hanya sebagai galeri pameran karya-karyanya. Dikin, sapaan akrab pelukis kelahiran 29 Oktober 1966 ini, mempersilahkan para pelukis lainnya untuk memanfaatkan galerinya sebagai tempat pameran dan ajang kreativitas pelukis lainnya.

Sadikin Pard Gallery berdiri megah di kawasan Sawojajar. (rhd)

“Kalau biasanya melukis dan pameran bersama teman-teman di jalanan dan mall, disini juga bisa. Tak hanya pelukis difabel, yang normal pun boleh,” terang pelukis yang tergabung sebagai anggota tetap Assosiation of Mouth and Foot Painting Artist (AMPFA), sejak tahun 1989 silam, usai pembukaan Sadikin Pard Gallery.

Galeri yang menjadi satu dengan tempat tinggalnya (lantai 1) ini, dibangun dengan modal pribadi yang dikumpulkan dari penjualan lukisannya selama 2 tahun lebih. “Konsepnya dari saya tur gathuk. Saya hanya menggunakan 3 tukang, sambil mengawasi, sesekali saya juga turun biar ngirit. Maklum modal sendiri,” beber bapak 2 anak, buah hatinya bersama sang istri, Tini.

Dalam pembukaan tersebut, Dikin menunjukkan kepiawaiannya. Diiringi tarian Bapang yang tampil sekitar 8 menit untuk menghibur para undangan, Dikin langsung menggoreskan kuas ke kanvas ukuran A2. Praktis hanya 8 menit pula Dikin berhasil menyelesaikan lukisannya dengan menggunakan kaki dan tangannya, dibantu seorang asisten yang menyiapkan cat dan peralatannya.

Aksi Sedikit Pard menyelesaikan lukisan penari Bapang hanya dalam waktu 8 menit. (rhd)

Kepiawaiannya ini, lanjut pelukis yang terkenal hingga luar negeri ini, bukan sebagai ajang pamer. Namun untuk memotivasi ribuan pelukis yang masih hidup di bawah garis kesejahteraan. Bahwa pelukis penyandang disabilitas dan normal pun berhak untuk berkarya dan sejahtera.

Pelukis yang wajib mengirimkan karya sekitar 10 sampai 15 karya ke Swiss dalam setahun ini, mengaku tak tega melihat masih banyaknya seniman yang menjerit tak jelas nasibnya. Pasalnya, dirinya pernah merasakan di level itu saat berjuang dan dicemooh lantaran ketidaksempurnaannya.

“Banyak sebab, salah satunya peran dan dukungan pemerintah dirasa kurang. Kebanyakan kami berusaha sendiri, bahkan kami saling gotong royong untuk maju bersama. Saya hanyalah salah satu yang diberi kesuksesan dari ribuan seniman yang ada. Maka saya ingin berbagi sebagai rasa syukur,” ungkap Dikin, tak kuasa menahan air mata.

Disebutkannya, dirinya membuka kesempatan kepada 100 pelukis se-Jawa Bali untuk unjuk diri dan berkompetisi secara sehat, Minggu (15/12/2019). Pasalnya, hadiah yang diberikan cukup fantastis. Juara 1 mendapatkan Rp 15 juta, juara 2 Rp 10 juta, juara 3 Rp 5 juta, dan harapan 1-3 masing-masing Rp 1,5 juta.

“Tak hanya pemenang yang berhak mendapatkan hadiah, namun semua peserta akan mendapatkan uang partisipasi sebagai pengganti transportasi,” tandas seniman yang berkarir lebih dari 30 tahun ini. (rhd)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *