AJI Malang Soroti Kebebasan Berekspresi Vs Kriminalisasi

Suasana diskusi Kebebasan Berekspresi Vs Kriminalisasi. (ist)

Kota Malang, SERU – AJI Malang menggelar diskusi terarah bertema Kebebasan Berekspresi vs Kriminalisasi, di Sahid Montana Hotel, Kota Malang, Senin (28/10/2019). Diskusi ini melibatkan perusahaan media, praktisi hukum, aktivis, bloger, pegiat demokrasi dan sebagainya.

Bacaan Lainnya

Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin, mengatakan, diskusi terarah ini untuk merespon tahun politik sepanjang 2018 – 2019 yang telah memunculkan ketegangan dan polarisasi masyarakat. Meski suhu politik yang panas mulai berangsur turun, dampak dari tingginya tensi itu masih kental terasa. Media sosial masih dijejali dengan konten bernuansa hoaks maupun disinformasi.

Pasca tahun politik itu juga melahirkan berbagai kebijakan beraroma memperketat kontrol terhadap kebebasan pers, berekspresi dan berpendapat. Sudah berkali-kali pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan internet bila terjadi konflik maupun unjuk rasa dalam skala besar. “Namun, kebijakan tersebut dinilai melanggar hak atas akses informasi yang dijamin oleh konstitusi,” seru Zainuddin, dalam keterangan resminya.

Muncul pula sejumlah perundangan yang kontra dengan semangat kebebasan berekspresi, berpendapat dan kemerdekaan pers. Termasuk pula mengendurkan semangat pemberantasan korupsi. “Seperti RKUHP, disahkannya revisi UU KPK dan berbagai perundangan lainnya. Jaminan berupa perlindungan terhadap jurnalis pun belum sepenuhnya terpenuhi,” tambah Zainuddin.

Saat gelombang unjuk rasa di berbagai daerah menolak berbagai perundangan pada September 2019, tidak sedikit jurnalis menjadi korban kekerasan. Aparat bukan sekedar menghalangi kerja jurnalistik, tapi juga mengintimiasi dan bahkan menganiaya jurnalis. Tercatat saat itu ada lebih dari 10 jurnalis di berbagai daerah jadi korban kekerasan aparat saat meliput aksi unjuk rasa.

Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin. (ist)

AJI Malang mencatat masih ada pelarangan dan sensor terhadap kerja jurnalis di Malang pada 2019 ini. Pelaku pelarangan pemuatan dan sensor berita itu adalah adalah oknum kepolisian maupun institusi pemerintah. “Di Malang, sejumlah jurnalis menjadi korban aparat yang membabi buta menyemprotkan water canon untuk membubarkan massa aksi di depan gedung DPRD Kota Malang,” beber redaktur senior harian Surya ini.

Ada pula, jurnalis dan pegiat demokrasi turut mengalami kriminalisasi. Dandhy D Laksono, jurnalis sekaligus produser rumah video dokumenter Watchdoc ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena unggahan di media sosial. Ananda Badudu, mantan jurnalis dan pegiat HAM juga ditangkap, karena aktivitasnya menggalang dana untuk unjuk rasa mahasiswa.

Di tahun-tahun mendatang, jurnalis dan media tetap menghadapi berbagai ancaman serupa. Baik itu kekerasan sampai kriminalisasi produk jurnalistik. Setidaknya ada 10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengancam dan mengkriminalisasi jurnalis serta media. Di luar itu, UU nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap berpotensi dipakai sejumlah pihak untuk menjerat jurnalis, media maupun pegiat demokrasi dan HAM.

Ancaman terhadap kebebasan pers, berekspresi dan kebebasan berpendapat itu melanggar konstitusi. Kemerdekaan berekspresi dan mendapatkan informasi dalam UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E dan 28 F. Serta UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Harapannya, diskusi terarah ini memunculkan kesamaan perspektif dan sikap bersama dalam merespon potensi atau kekerasan yang dialami jurnalis maupun aktivis,” tandasnya. (rhd)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *